Senin, 03 Maret 2008

PEDAGOGI MATERI-SUBYEK: DASAR-DASAR PENGEMBANGAN PBM



I. STRUKTUR PBM MENURUT PEDAGOGI MATERI SUBYEK

A. Tahapan Pengembangan PBM

Bagian ini memperkenalkan struktur pbm hasil pemetaan permasalahan yang mendasarinya untuk menelusuri motif yang mengawali setiap tindakan dalam pbm. Setiap motif ini merupakan upaya untuk mentransformasi eksplanasi ilmiah menjadi eksplanasi pedagogi yang seyogianya mengacu pada struktur ilmu agar hasil transformasi memenuhi kritteria teachable dan accessible. Keseluruhan strutktur pbm dengan demikian dapat dilihat sebagai suatu totalitas yang dibentuk oleh komponen materi-subyek komponen pengajar, dan komponen pembelajar dalam suatu hubungan ketergantungan untuk membangun pengetahuan.


Untuk berlaku lebih adil dalam merumuskan struktur pbm, berbagai pandangan pakar disiplin yang mempunyai kaitan erat dengan komponen-komponen pbm tersebut perlu terlebih dahulu dikemukakan sesuai dengan kronologi pengembangannya. Upaya awal dari pengembangan ini banyak dimotivasi oleh penelitian standar yang belum ditandai oleh yang belum mengenal kriteria totalitas dan logika internal pbm. Keadaan ini menyebabkan awal pengembangan tersebut merupakan upaya yang terkotak-kotak yang mudah dipahami karena disiplin ilmu yang melatari pengembangan tersebut cukup dominan. Awal pengembangan ini banyak dimotori oleh pandangan sepihak dari psikologi pembelajaran dari pekerjaan Skinner yang memusatkan diri pada komponen pembelajar.


Pada pertengahan perkembangannya, penelitian pbm didominasi oleh pandangan interaksi kelas yang mencoba menentukan karakteristik pengajaran yang sukses berdasarkan tingginya frekuensi kegiatan pembelajar dibandingkan dengan kegiatan pengajar. Pandangan ini banyak dimotivasi oleh disiplin sociolinguistik; interaksi dideskripsikan oleh karakteristik dari fungsi ucapan seperti meninisiasi, menerima, menolak, menjawak, dlsb. Pekerjaan Flanders merupakan acuan utama dari penelitian ini yang dikembangkan lebih lanjut berdasarkan karakteristik dari materi-subyek .. Pembicaraan struktur ilmu untuk mendeskripsikan pbm belum banyak dilibatkan, kalaupun ada ini masih terbatas pada aspek konten dan aspek substansi, belum secara utuh sebagai struktur ilmu.


Kedua pengembangan diatas ditandai oleh belum dilibatkannya materi-subyek dalam analisis secara komponen tersendiri, melainkan pada menggiatkan pembelajar dalam pbm. Keterbatasan ini mudah dipahami karena munculnya analisis wacana yang memusatkan diri pada materi-subyek baru dimulai sekitar tahun 1975 sejalan dengan munculnya komputer yang mendekati kemampuan berfikir manusia. Walaupun pengembangan sudah melibatkan hubungan ketergantungan, jadi telah mulai menerapkan kriteria totalitas, kriteria logika internal yang menjadi kerangka kerja bagai pemetaan kompleksitas pbm belum mendapat peran yang memadai. Karenanya, pekerjaan yang cukup komprehensif yang memampu mengimbangi kompleksitas pbm belum muncul. Kekeliruan induktif: Fallacy of Complex Questions, yaitu solusi dua alternatif berupa menerima atau menolak hipotesis terhadap masalah yang kompleks dapat diterapkan pada pekerjaan dalam tahapan ini.


Pengembangan selanjutnya, dengan demikian, perlu mengkonsentrasikan diri pada kompleksitas dari permasalahan pbm. Kompleksitas ini merupakan karakteristik dari pengembangan sekarang ini yang oleh pandangan pedagogi materi-subyek dicoba dengan mengidentifikasi pbm sebagai fenomena wacana. Upaya ini secara teoretis meletakkan dasar untuk mulai memetakan permasalahan pbm untuk menghindari pekerjaan dari kemungkinan dilanda oleh kekeliruan lain: Fallacy of Composition, yaitu asumsi bahwa apa yang berlaku pada salah satu komponen pbm juga berlaku untuk keseluruhan pbm. Salah satu upaya yang tengah dikembangkan sejalan dengan kehati-hatian ini adalah pedagogi materi-subyek yang dikembankan berdasarkan totalitas dan logika internal pbm.


Struktur pbm dikemukakan bersamaan interaksi pelaku-pelakunya dalam rangka membangun pengetahuan berdasarkan model trialogue dari pbm. Seperti telah disinggung dalam Pendahuluan, asumsi ini terutama berlaku atas interaksi tersebut dengan pandangan bahwa setiap pelaku pbm mempunya hak prerogatif yang diperlukan untuk memelihara kelangsungan interaksi tersebut dengan memberikan hak prerogatif kepada pengajar untuk mengendalikan wacana dari pbm. Hak prerogatif juga diberikan untuk memastikan keberhasilan pembelajar, yaitu berupa hak untuk bertanya dalam rangka mengembangkan pemahamannya. Hak ini diperlukan untuk menyehatkan hak mengendalikan pembelajar, karena keberhasilan pengendalian tersebut banyak ditentukan oleh sikap kerja-sama pembelajar dalam melaksanakan hak bertanyanya. Keseluruhannya adalah agar interaksi untuk membangun pengetahuan berlangsung dengan merujuk pada nilai kebenaran yang merupakan hak prerogatif dari materi-subyek.


Pemahaman atas permasalahan juga menempati posisi penting dalam sturktur pbm yang sebenarnya adalah hasil pengembangan struktur pbm oleh analisis wacana. Setiap pelaku merupakan wakil dari pandangan keilmuan: materi-subyek mewakili disiplin ilmu murni, pembelajar mewakili disiplin psikologi, sedangkan pengajar mewakili disiplin pedagogi. Interaksi untuk membangun pengetahuan dengan demikian selalu dilatar-belakangi oleh disiplin keilmuan tersebut.


Pengembangan desain dengan demikian cukup dipermudah oleh analisis permasalahan karena interaksi dapat dimanipulasi dengan jalan menjaga salah satu dari pelaku pbm tersebut konstan, sedangkan yang lainnya dapat dibiarkan bervariasi secara waja. Dengan demikian keseluruhan permasalahan pbm dapat dipilah menjadi masalah-masalah yang cukup kecil yang lebih memadai untuk diteliti sesuai dengan kendala waktu, biaya dan kerumitan masalah.


B. Definisi Pbm


Untuk memberikan suatu pandangan posisi dari pandangan penulis mengenai pbm, perkembangan pandangan penelitian standar, analisis wacana, dan pedagogi materi subyek perlu kiranya dikemukakan. Ketiga pandangan ini mewakili tahap-tahap perkembangan dari pemahaman struktur pbm menurut konologinya. Perlunya pemahaman atas perkembangan adalah untuk mendukung peranan materi-subyek dalam pbm yang selama ini tidak muncul sebagai komponen yang secalan dengan komponen lainnya.


1. Pandangan Penelitian Standar


Sebagai upaya awal, definisi yang lebih operasional barangkali menolong sebagai ide pembuka. Nampaknya, seperti telah disinggung diatas, Hopkins (1992), contohnya, belum melihat peranan sentral dari komponen materi-subyek dalam PBM terlihat dari konsentrasi pekerjaannya pada interaksi dan prilaku mengajar atau belajar.


Suatu tindakan yang diambil oleh guru atau koleganya untuk meningkatkan pengajaran, menguji teori dalam praktek (hal.1).


Dari definisi ini, Hopkins sebenarnya kurang melihat konteks yang lebih mendasar dari PBM yaitu mengkonstruksi pengetahuan menurut konteks kelokalannya. Pandangannya cukup terikat pada penelitian tindakan, walaupun sudah menampilkan langkah maju dalam melibatkan peranan teori dalam penelitian kelas. Pandangan tradisional mengenai tugas pengembangan pbm adalah peningkatan pelaksanaannya melalui, terutama studi kasus, disamping studi tindakan.


Tetapi secara umum pandangan totalitas dan logika internal PBM belum muncul, terlihat dari pandangannya yang terutama adalah data empirik berupa observasi, tetapi belum melibatkan interviu dan transkripsi sebagai sumber data.


Definisi Hopkins juga kurang menekankan fase pemetaan atau penemuan masalah (fase eksplorasi) yang untuk sementara masih perlu mendasari penelitian kelas. Fase ini diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi pengajar mendokumentasi pengetahuan praktis-mengajar. Pandangannya untuk langsung meningkatkan (memperbaiki) pengajaran kiranya kurang menghargai pandangan PBM sebagai budaya kelas.


2. Pandangan Analisis Wacana


Dilain pihak, walaupun penelitian dapat juga melibatkan evaluasi, penelitian kelas perlu menghindarinya karena PBM berlangsung didalam suatu budaya tertentu, yaitu, budaya kelas. Peneliti perlu menghargai berbagai kendala yang pada batas tertentu juga membentuk budaya sekolah. Kiranya, peneliti yang menerapkan suatu skala penilaian sebagai dasar untuk membuat perbaikan, tanpa menghargai kendala yang ada, merupakan tindakan yang mengabaikan totalitas permasalahan. Tugas utama penelitian adalah mendeskripsikan PBM seakurat mungkin menurut kendala yang sehari-hari harus dihadapi oleh pengajar dan pembelajar.


Definisi penelitian-kelas, seperti telah dikemukakan, juga perlu melibatkan peranan materi-subyek karena kurangnya perhatian terhadap peranan ini telah menyebabkan berbagai pendekatan terdahulu menemui jalan buntu. Peranan tersebut perlu mendapat tempat tertentu dalam mendefinisikan penelitian-kelas.


Demikian juga topik (materi-subyek) jarang sekali dibicarakan didalam konteks interaksi langsung muka dengan muka. Yang menjadi keperdulian sentral pakar sosiolinguist adalah bagaimana pembicaraan yang diucapkan oleh pembicara diorganisasi dan dipadu dalam berbagai cara, dan terdengar sesuai dengan situasi sosial (Stubbs, 1984: 44).


Sehubungan dengan pertimbangan diatas, peranan materi-subyek dalam pbm perlu dibuat eksplisit sebagai salah satu komponen utama pembentuk PBM. Peranan ini dinyatakan oleh proposisi-proposisi yang dikonstruksi oleh pembelajar dan pengajar dan merupakan unsur pembentuk materi-subyek. Berbagai aspek yang membentuk suatu penelitian dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai masalah, tetapi disini karena perhatian tertuju pada penelitian-standar aspek tersebut cenderung diabaikan.


Sehubungan dengan pertimbangan diatas, dalam mendefinisikan penelitian-kelas unsur-unsurnya perlu dipetakan terhadap penelitian-standar. Untuk maksud tersebut, pemisahan penelitian-makro dan penelitian-mikro kiranya menolong untuk merumuskan karakteristik penelitian-kelas. Diantaranya yang penting adalah kenyataan bahwa penelitian-standar banyak dikembangkan oleh pakar psikologi sosiologi pendidikan bukannya pakar pendidikan.


Pakar pendidikan merasakan bahwa pandangan pakar-luar diatas kurang memahami secara dekat problema yang terdapat didalam kelas terutama yang dihadapi oleh pengajar. Pada umumnya, pakar-luar tersebut berorientasi kuantitatif menggunakan statistik (pendekatan probabilistik) sebagai dasar untuk membuat eksplanasi. Penelitian-kelas di lain pihak umumnya dikembangkan oleh pakar ilmu sosial atau wacana sosial dengan orientasi lebih pada PBM. Pendekatannya lebih berorientasi kualitatif terutama analisis wacana, walaupun pendekatan ini kemudian dapat dikuantitatifkan untuk memudahkan tugas menganalisis data.


3. Pandangan Pedagogi Materi Subyek


Deskripsi penelitian kelas pada bagian sebelumnya meletakkan dasar bagi definisi pendahuluan penelitian kelas; definisi yang lebih ketat dan formal sebenarnya masih terlalu sulit karena konsep mengenai penelitian kelas itu sendiri berkembang mengikuti pemahaman yang semakin mendalam. Diantaranya, ini menyangkut masih belum memadainya deskripsi metodologi karena masih perlu mempertimbangkan inti permasalahan PBM. Jadi, untuk sementara, definisi yang cukup memadai adalah bahwa:


Upaya bersama dalam bentuk suatu antar-ketergantungan materi-subyek, pembelajar, dan pengajar sehubungan dengan isu totalitas dan logika-internal dari tugas sosial mengkonstruksi pengetahuan dari PBM.


Untuk memahami PBM, seseorang perlu melakukan observasi langsung/tak-langsung, dan interviu untuk mendalami gejala-gejala yang muncul dari kondisi antar ketergantungan.Observasi dan interviu perlu memelihara kondisi lingkungan alamiah PBM dengan jalan menerapkan kehatian-hatian pandangan naturalistik yang diantaranya dengan menghndari intervensi atau menekan dampaknya menjadi sekecil mungkin. Agenda pengamatan seyogianya didasari oleh teori tertentu agar pengumpulan data dapat mengacu pada sistim deskriptif tertentu. Sistim ini merupakan pewujudan dari pandangan totalitas dalam menerapkan metodologi penelitian kelas.


C. Antar-hubungan Komponen PBM


Keberhasilan PBM dalam meningkatkan pemahaman materi-subyek yang utuh dan kritis berhubungan erat dengan upaya pengajar dan pembelajar untuk mengkonstruksi kerangka-berfikir bersama. Upaya mengkonstruksi tersebut diwujudkan melalui interaksi verbal dalam bentuk wacana antara komponen-komponen materi-subyek, pengajar, dan pembelajar. Istilah materi-subyek, pengajar, dan pembelajar, di satu pihak, dan mengkonstruksi di lain pihak, masing-masing adalah totalitas dan logika-internal dari PBM. Interaksi dari ketiga komponen totalitas tersebut berlangsung berdasarkan hubungan ketergantungan yang saling menguntungkan dengan melihat setiap komponen sebagai kewenangan wacana menurut posisinya masing-masing. Kewenangan pengajar adalah sebagai pengendali yang berkaitan dengan tugas menyelaraskan materi-subyek untuk meningkatkan interaksi kelas. Kewenangan pembelajar adalah sebagai pemula yang berkaitan dengan tugas memahami nilai kebenaran dari materi-subyek melalui interaksi kelas. Kewenangan materi-subyek adalah sebagai rujukan nilai kebenaran bagi interaksi kelas karena peranannya sebagai wakil disiplin ilmu.


Pandangan diatas nampaknya tidak sejalan dengan pandangan belajar aktif yang yakin bahwa belajar yang melibatkan diskusi kelompok, proyek, dan pengalaman langsung. Walaupun pandangan ini secara intuitif menarik dan diterima umum tanpa ragu, tetapi bukannya tanpa masalah. Cukup mendasar untuk juga memperkirakan bahwa belajar aktif juga mengandung maksud yang telah ditetapkan sebelumnya oleh buku teks atau guru.


Barnes (1976), contohnya, menemukan bahwa walalupun pembelajar dilibatkan dalam pembelajaran kolaboratif fan jelas menekankan keaktifan, ternyata pengajar mempunyai wewenang penting dalam menentukan definisikan dan mengendalikan bentuk wacana yang diperbolehkan selama pembelajaran. Strategi untuk mencapainya termasuk pemihakan kepada jawaban pembelajar tertentu tetapi tidak yang lain, dan mengajukan pertanyaan tertentu untuk mengarahkan pembelajar kepada jawaban tertentu. Lebih jauh, ditemukan bahwa hanya sedikit pembelajar yang dapat melihat prinsip yang ingin dimapankan melalui kegiatan. Lebih sering pembelajar melakukan kegiatan tersebut hanya sebagai ritual yang harus diikuti untuk menyenangkan guru. Gantinya berupaya untuk mengembangkan pengertian yang asli, pembelajar hanya membuat perkiraan dan pendapat yang kiranya sesuai dengan harapan pengajar.


Dari situasi diatas mungkin sukar menyimpulkan bahwa murid aktif membangun pengetahuannya, sementara adalah guru yang mengetahui jawaban, mengemukakan pertanyaan. Kedua peneliti tersebut nampaknya cukup tegas menyimpulkan bahwa:


Kebebasan pembelajar untuk mengemukakan pendapatnya sendiri sebagian besar adalah ilusif; pengajar dengan tegas tetap memegang kendali atas apa yang seharusnya dikatakan dan dilakukan, kesimpulan apa yang seharusnya dicapai, interpretasi apa yang seharusnya diajukan atas pengalaman (hal. 807).


Jadi cukup beralasan untuk mempertimbangkan situasi yang lebih realistik mengenai pelaksanaan pbm menurut pandangan wacana mengenai pedagogi kelas seperti dikemukakan diatas. Kompleksitas pbm nampaknya perlu didekati dengan mempertimbangkan subjektivitas setiap pelaku pbm, konteks sosial budayanya, dan dasar trialogue dari interaksinya. Pendekatan sosiokultural berupa dasar trialogue ini merupakan faktor pembeda terhadap pendekatan Piaget yang menekankan fungsi kongnitif individual atau model pembelajaran psikologi lainnya. Dasar trialogue tersebut juga merupakan pengoperasian dari asumsi pbm sebagai fenomena wacan dan secara menyeluruh mewadahi subjektivitas pelaku pbm, dasar dialogikal dari pembentukan makna sesuai dengan konteks sosio-kultural sekolah.


Berdasarkan dasar trialogue diatas, lebih jauh studi mengenai kehidupan kelas pada ahirnya harus memperlihatkan logika-internal PBM yang membawahi interaksi ketergantungan dari setiap pelaku pbm. Dasar trialgue tersebut dapat diungkapkan berdasarkan motif atau tema pokok yang mengendalikan hubungan dialogikal pengajar, pembelajar, dan materi-subyek.


Fungsi motif memudahkan analisis pembentukan makna menurut konteks kesehari-harian dimana interkasi dialogikal berlangsung. Unit-unit tindakan yang membentuk suatu motif adalah unit-unit wacana yang juga merupakan unit bersama setiap komponen. Adanya unit analisis bersama ini merupakan fasilitas untuk mengungkapkan hubungan antar-ketergantungan dari komponen-komponen dalam PBM.


Tindakan seseorang sebenarnya merupakan hasil konstruksinya secara aktif berdasarkan interpretasi terhadap kejadian di dalam lingkungannya. Mempelajari tindakan seseorang perlu melibatkan perspektif yang mengendalikan (tetapi juga dipengaruhi oleh) tindakan tersebut yang selanjutnya berkembang menjadi interaksi sosial. Metodologi sosial yang sesuai untuk mempelajari tindakan tersebut adalah etnografi. Seperti telah dikemukakan, etnografi digunakan untuk mempelajari interaksi sosial tersebut dalam bentuk hubungan antar-ketergantungan secara alami menggunakan observasi, partisipasi informal, dan percakapan sebagai metoda.


Untuk lebih memapankan pandangan diatas dengan kriteria totalitas dan logika internal, hubungan ketergantungan komponen-komponen PBM dan konteks sosialnya perlu dipetakan terlebih dahulu. Rumusan hubungan ketergantungan yang dihasilkan oleh pemetaan tersebut menjadi dasar untuk selanjutnya memetakan PBM kedalam area-area penelitian kelas.



Gambar 3.1


Model Trialogue PBM






Kurikulum















Presentasi


Pembelajar Pengajar






















Organisasi Transformasi



Materi-subyek




Konteks




Hasil-Belajar




1. Komponen Pengajar


Pandangan terhadap peranan guru dalam proses belajar- sangat beragam bergantung pada latar belakang pakar. Terutama di tahun 70 hingga 80-an saat minat dan perhatian para akhli terpaku pada teori belajar, seperti (Yinger, 1982):


(1) Studi motivasi belajar.


(2) Minat.


(3) Pertumbuhan.


(4) Kesiapan pembelajar.


Peranan guru diganti oleh paket-paket instruksional yang karenanya kurang menghargai peranan aktif guru. Dasar teoretisnya adalah belajar aktif lebih unggul dari pada belajar secara kelas yang umumnya didominasi guru.


Tetapi terlepas dari anggapan diatas, guru sebenarnya mempunyai peranan penting dalam mendefinisikan dan mengendalikan bentuk wacana yang wajar selama pembelajaran. Pengendalian tersebut diarahkan pada memberikan kemudahan pada pemahaman yang lebih mendalam oleh pembelajar. PBM dapat diarahkan pada pemahaman teori-teori untuk mengembangkan kemampuan membuat eksplanasi oleh pembelajar dan menguji eksplanasi tersebut terhadap pengetahuan mereka yang sudah ada.


Strategi yang dilakukan oleh guru untuk mewujudkan pemahaman tersebut dapat mengambil bentuk:


(1) Mendukung interpretasi murid-murid tertentu, tetapi tidak untuk kelompok lain.


(2) Mengisyaratkan pembelajar mengenai pandangan tertentu.


(3) Memperkenalkan aturan tertentu untuk mengesampingkan kepincangan.


(4) Memudahkan pembelajar membuat pilihan untuk memastikan bahwa pandangan yang diinginkan sesuai dengan kerangka waktu yang dialokasikan.


Secara ideal, pembelajar dapat mengupayakan sendiri pemahaman yang mendalam, tetapi karena berbagai kendala yang ada di rumah maupun di sekolah sekarang ini membuat upaya tersebut sukar. Bahkan sebagian besar pembelajar cenderung kurang mempunyai kekuatan intelektual yang diperlukan untuk mewujudkan pembelajaran aktif. Melalui wacana, peranan pengajar cukup penting dalam membangun pemahaman pembelajar melalui upaya menyederhanakan proses pemahaman teori yang prosesnya berlangsung dari abstrak ke konkrit (Varelas, 1996).


2. Komponen Pembelajar


Pandangan etnografi terhadap proses mengkonstruksi ilmu selama pembelajaran menginginkan agar PBM berlangsung lebih wajar. Terutama sehubungan dengan materi-subyek, ini menyangkut (Louhglin, 1992):


(1) Apa yang telah diketahui,


(2) bagian yang sulit dan mudah, dan


(3) yang erat hubungannya dengan pengalaman.


Terhadap kepentingan siswa sendiri ini menyangkut:



(1) Kondisi kecemasannya,


(2) Bagian yang menarik, mendorong,


(3) Menantang hari depannya.



Sebagai kelompok belajar, pengajar perlu memperhatikan pembelajar sebagai:



(1) Individu dalam konteks perkembangannya.


(2) Rujukan yang cocok untuk memacu pembelajaran menurut kelompok prestasi.


(3) Waktu yang tepat pembelajar diberi arahan, melalui pengendalian.


(4) Saat yang tepat untuk mengurangi atau meniadakan pengendalian tersebut.


3. Komponen Materi-Subyek


Komponen Materi-subyek berfungsi sebagai konten wacana dalam PBM. Istilah konten disini mengambil pengertian umum, yaitu, media untuk berlangsungnya kegiatan belajar-mengajar. Peranan sentral materi-subyek diwujudkan sebagai komponen yang menjadi rujukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan:


(1) Pengajar merujuknya untuk mengorganisasi dan mempresentasi pelajaran.


(2) Pembelajar merujuknya untuk memahami dan mengembangkan strategi belajar tertentu.


Tugas pemetaan dengan demikian dapat diarahkan kepada deskripsi dari fungsi-fungsi ini.



D. Eksplanasi Ilmiah vs Eksplanasi Pedagogi


Gambaran diatas adalah mengenai komponen dari pbm yang belum mengungkapkan antar-hubungannya secara lebih terfokus pada logika internal pbm, yaitu, tugas membangun pengetahuan. Jika dilihat bahwa tugas utama pengajar adalah memberikan suatu eksplanasi, maka pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah bagaimana bentuk eksplanasi tersebut. Dapat dipastikan bahwa bentuk tersebut tidak memadai jika disamakan dengan bentuk yang digunakan oleh ilmuwan, karena, target eksplanasi di dalam pbm adalah pembelajar yang status keilmuannya adalah pemula.


Dalam kegiatan belajar berikut, antar hubungan dari setiap komponen dipetakan berdasarkan peranan sentral dari materi-subyek yang dilihat sebagai suatu hasil transformasi ilmu yang dimiliki pakar menjadi suatu representasi tertentu yang cocok dengan pembelajar sebagai target dari eksplanasi. Dikemukakan perlunya pembedaan antara eksplanasi ilmiah dan eksplanasi pedagogi agar kesimpang-siuran antara pandangan antara pakar ilmuan dan pakar pendidikan dapat dibenahi walaupun baru pada tingkat konseptual.


Salah satu bentuk transformasi yang banyak mendasari penulisan buku teks adalah model matematik menjadi model ikonik (metafor visual). Contohnya, transformasi persamaan gelombang Schröedinger menjadi teori orbital molekul menggunakan ikon dumbell (halter). Fungsi pedagogi materi-subyek dari model ikonik tersebut terletak pada kemampuannya untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih dalam; jadi penggunaannya menyangkut kemampuan eksplanasi yang lebih tinggi (Selley, 1989).


Gambar 5.2 menjelaskan hubungan antara eksplanasi ilmiah dan eksplanasi pedagogik. Untuk pemula (mahasiswa) eksplanasi ilmiah perlu ditransformasikan menjadi bentuk materi-subyek agar memenuhi kriteria mudah-diajarkan dan mudah dijangkau. Mudah-diajarkan berhubungan dengan tugas manipulasi materi-subyek agar materi-subyek sesuai dengan kondisi intelektual peserta didik. Mudah dijangkau merujuk pada transformasi materi-subyek menurut kriteria psikologi pembelajaran.




Gambar 5.2.


Pemetaan Hubungan Antara
Eksplanasi Ilmiah dan Eksplanasi Pedagogi








































Fungsi Sintaktikal







Fungsi Substantif




Konteks Disiplin




Pernyataan 1


Pernyataan 2


Pernyataan 3


Pernyataan 4


. . . . . . . . . . .


Pernyataan n












Transfomrasi Fungsi Wacana kedalam


Model Teoretis atau Matematik









Eksplanasi


Ilmiah



Rekan Sejawat sbg khalayak sasaran



Representasi








Materi-Subyek




Pembelajar sbg


Khalayak Sasaran



Pedagogikal Psikologikal


TEACHABLE ACCESSIBLE




















Eksplanasi


Pedagogi





Konteks Pedagogi


Ketrampilan


Intelektual





Analisis


Wacana




Salah satu penerapan dari eksplanasi pedagogi adalah perlunya pengajar menurunkan model representasi mengajar yang diperlukan dalam menyajikan materi-subyek di depan kelas. Karena kendala waktu dan tuntutan untuk menolong merekonstruksi kembali materi-subyek tersebut, pengajar dituntut untuk menemukan suatu model representasi pengajaran. Model representasi ini dalam analisis wacana diidentifikasi sebagai struktur makro yang dikendalikan oleh dimensi progresi dan dimensi elaborasi (lihat Gambar 5.4.)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tolong dibenahi gambar-gambarnya agar membantu pemahaman pembaca. Sebenarnya telah ada buku PMS: Pedagogi Materi Subyek: Guru Sebagai Pengendali Wacana, yang lebih utuh dan lengkap mengenai pandangan dan pendekatannya.
Tujuan utamanya adalah bahwa PBM mempunyai logika internal sendiri, yang kurang ditampilkan oleh teori-teori mengajar, karena terlalu terkungkung oleh fungsi mengasuhnya guru. Tetapi ini pincang karena kualitas pembelajaran tidak dijamin oleh nilai kebenaran dari Materi-Subyek, yang merupakan hak prerogatifnyq. Mungkinkah ini merupakan sebab utama dari nilai mp fisika yang tidak pernah beranjak naik dari nilai 3,5-an?
Teruskan makalah ini, karena misinya belum banyak dimaknai oleh para pengajar maupun pembuat kurikulum.
Wasalam
Nelson Siregar