Rabu, 23 Februari 2011

Individuals cannot do anything to develop society

Nowadays, individuals cannot do anything to develop society. The role of administrators and big institutions can change and advance a new development in a civilization. I entirely agree with this statement because a person only encourages himself or herself. On the other hand, governments and huge institutions have a lot of role which change many sectors of people such as politics, economics, social and art.
There are several reasons why a group of people are much better than a person in order to boom and change their society. First of all, people cannot life without other people because humans are social creature. They need help somebody when they obtain some problems. For example, they want to go up roof of their house, definitely they need a person who can take and hold the ladder. Furthermore, in politics sector, a governor is not able to struggle inanity without the role of teachers and students in his or her province especially in education atmosphere.
Secondly, people only aware to others in their civilization. Awareness is the main factor for people to advance their life and society. Today, awareness decrease sharply due to in fact that civilizes comfort and neglect role of others. Moreover, development in society that is hopped by all of socializes do not happen. For instance, the president hope that he or she plans his or her program to grow national economics, unfortunately the president is not supported by his or her citizens. Indeed, the president hard struggles the poverty in his or her country.
Finally, togetherness is the other effects to boom every society much more develop. For example in art case, the artists cannot be proud without the audiences who appreciate their acts. Role of amenity (civilization/society) is very important in developing art aspect because art is one of the vital aspects in educating people in the world. If everyone knows and realizes about art and apply the art in their amenity, she or he will change and advance their socialization to become educated people.
In conclusion, role of togetherness, socialize and awareness are extremely needed by civilization to change and boom their amenity to earn or gain a new development. In addition, individuals cannot change anything because people are not able to life in personal mindset and amenity.

Rabu, 05 Januari 2011

English Training in Bali for writing

Writing Practice

Exercise 1 (Unit 6)
Task 1: Presenting and Comparing Data
Guide Practice
Look at the following question and table.


Leisure activities % of age group
16 - 19 25 - 29 60 – 69
Watching TV/video 99 99 99
Visiting/Entertaining friends or relations 98 98 95
Listening to tapes/CDs 98 93 65
Listening to the radio 95 94 83
Reading books 63 64 66
DIY (Do It Yourself) 25 50 38
Gardening 15 35 61
Dressmaking/needlework/knitting 9 14 27
Source: Social Trends




Answering from the data:

The table shows the percentages of people taking part in certain leisure activities. According/base on the figure, the single most wanted/prefer/popular leisure activity in the UK is watching television and radio, which has a 99% participant rate across all selections of the population. Visiting friends and relations is almost the same rate, with 95% or more of all age ranges socializing on regular basis.
Listening to music is most popular with the two younger each groups, while the figure is approximately one third/30% lower for older people. On the other the other hand, gardening and needlework are more popular with 60-69-year-olds. For example, almost 61%/twice older people enjoy gardening compare with 20-29-year-olds. Finally, it seems that DIY appeals most to people in their twenties.
From the information we can see that the figures for the most popular activities are fairly similar across the age groups. However, there are considerable different when we look at the more minority interests.

Jumat, 29 Oktober 2010

KEGIATAN EKSPERIMEN FISIKA DASAR I UNTUK MENGEMBANGKAN GENERIC SKILLS CALON GURU FISIKA

Dra. Heni Rusnayati, M.Si. 1, Achmad Samsudin, M.Pd.2
1Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, Bandung, 40154
2Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, Bandung, 40154

Email: achmadsamsudin@yahoo.com


ABSTRAK

Untuk mengetahui profil generic skills calon guru fisika dalam Eksperimen Fisika Dasar I (EFD I), penelitian dilakukan pada kegiatan eksperimen viskositas, Archimedes, dan kalorimeter. Generic skills merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap individu dalam hal ini adalah calon guru fisika. Generic skills yang diamati dan diteliti meliputi kemampuan membuat grafik (MG) dan kemampuan membaca/membuat simbol matematik (MS). Generic skills sangat dibutuhkan bagi calon guru fisika, terutama pada kemampuan membuat grafik dan membaca simbol matematik. Karena hampir semua konsep fisika yang ada, memerlukan analisis menggunakan grafik dan memerlukan simbol matematis dalam menyatakan persamaan fisika. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan subjek penelitian adalah salah satu kelas EFD I di salah satu LPTK Jawa Barat. Data penelitian yang bersifat kualitatif dikumpulkan dan dianalisis dari laporan akhir praktikum mahasiswa, dengan dikuantitaifkan terlebih dahulu menggunakan skala Liekert (1, 2, 3, 4, dan 5). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca simbol matematik sudah cukup baik, sedangkan pada kemampuan membuat grafik masih tergolong sedang. Kesalahan (kelemahan) terbesar dalam kemampuan generik sains calon guru fisika yaitu pada kemampuan membuat grafik khususnya kemampuan membuat batas ujung atas dan bawah grafik. Akibat kesalahan tersebut, analisis data yang dihasilkan dengan grafik manual cenderung jauh lebih kurang teliti dibandingkan dengan analisis menggunakan software Origin 5 atau excel berbantuan komputer.

Keywords: Calon Guru Fisika, Generic Skills, dan EFD I.


PENDAHULUAN

Dalam melakukan kegiatan eksperimen, akan selalu berkaitan dan melibatkan laboratorium. Karena laboratorium merupakan suatu tempat, atau ruangan yang dilengkapi dengan peralatan tertentu untuk melakukan suatu percobaan atau penyelidikan (Margono, 2000). Dalam melakukan kegiatan laboratorium (bereksperimen) bukan hanya kemampuan yang berkaitan dengan keterampilan memanipulasi alat saja yang dilatihkan, tetapi keterampilan dasar mahasiswa juga perlu mendapatkan penekanan. Salah satu keterampilan dasar yang perlu dikembangkan adalah keterampilan generik sains/KGS (Generic Skills). Karena keterampilan generik sains merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki semua orang terutama untuk mahasiswa calon guru fisika. Pada dasarnya, mahasiswa calon guru fisika akan menjumpai banyak tuntutan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi saat mahasiswa melakukan eksperimen di kelas maupun permasalahan yang akan dihadapi mahasiswa di lapangan (dunia kerja) kelak.
Peran keterampilan generik sains dalam pelaksanaan praktikum fisika sangat penting dalam rangka mendukung pembelajaran dan memberikan penekanan pada aspek proses dan produk sains. Hal ini didasarkan pada tujuan pembelajaran fisika sebagai proses yaitu meningkatkan kemampuan berpikir siswa, sehingga siswa tidak hanya mampu dan terampil dalam aspek psikomotorik saja, melainkan juga mampu berpikir sistematis, objektif, dan kreatif dalam segala hal. Untuk memberikan penekanan lebih besar pada aspek proses, siswa perlu diberikan keterampilan seperti mengamati, menggolongkan, mengukur, berkomunikasi, menafsirkan data, dan bereksperimen secara bertahap sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir siswa dan materi perkuliahan yang sesuai dengan kurikulum Sumaji (Gunawan et al., 2009). Laboratorium dalam pembelajaran fisika memiliki peranan yang sangat penting. Diantara peran tersebut yaitu: Pertama, sebagai wahana untuk mengembangkan keterampilan dasar (keterampilan generik sains) mengamati atau mengukur dan keterampilan proses lainnya (science process skills) seperti mencatat, membuat tabel, membuat grafik, menganalisis data, menarik kesimpulan, berkomunikasi, dan bekerjasama dalam tim (kelompok). Kedua, laboratorium sebagai wahana untuk membuktikan konsep (verification experiment) atau hukum-hukum alam sehingga dapat lebih memperjelas konsep yang telah dibahas sebelumnya. Ketiga, sebagai wahana mengembangkan keterampilan berpikir melalui proses pemecahan masalah dalam rangka siswa menemukan konsep sendiri (inquiry experiment). Melalui peran ini, laboratorium telah dijadikan wahana untuk learning how to learn Wiyanto (Gunawan et al., 2009); Samsudin, Suyana, dan Suhendi (2009). Selain hal tersebut, menurut Brotosiswoyo (Taufiq & Wiyono, 2009), keterampilan generik sains yang didapat dari proses pembelajaran dimulai dengan pengamatan tentang gejala alam (1) pengamatan (langsung maupun tak langsung), (2) kesadaran akan skala besaran (sense of scale), (3) bahasa simbolik, (4) kerangka logika taat azas (logical self-consistency), (5) inferensi logika, (6) hukum sebab akibat (causality), (7) pemodelan matematik, dan (8) membangun konsep.
Berkaitan dengan metode laboratorium ini, maka kegiatan laboratorium dirancang dengan tujuan utamanya yaitu melatih mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan dasar dengan salah satunya yaitu keterampilan generik sains mahasiswa calon guru dalam berpraktikum. Keterampilan generik sains mahasiswa dalam proses sains cenderung dan sering kurang mendapatkan perhatian. Contohnya keterampilan dalam membuat grafik, mahasiswa sering mengalami kesulitan yang cukup berarti dan mereka juga belum tahu pasti harus bagaimana membuat grafik dengan tepat. Hal ini dapat terlihat dari hasil laporan eksperimen mahasiswa dalam kegiatan perkuliahan Eksperimen Fisika Dasar I (EFD I). Selain itu, penggunaan simbol matematik dalam menampilkan fenomena fisis juga belum mendapatkan sentuhan yang cukup berarti dari berbagai pihak dosen. Padahal keterampilan generik sains dalam hal menggunakan simbol matematik sangat penting bagi mahasiswa calon guru fisika khususnya.
Permasalahan tersebut membutuhkan analisis dan kajian sesuai dengan pengembangan keterampilan generik sains mahasiswa calon guru dalam membuat grafik dan memungkinkan juga mahasiswa untuk menggunakan simbol-simbol matematik dalam kehidupan sehari-harinya sebagai seorang guru fisika kelak. Maka dari itu, peran keterampilan generik sains sangat besar bagi mahasiswa calon guru fisika sebagai bekal kelak di dunia kerja maupun sekolah (kampus). Keterampilan generik sains yang diteliti dalam penelitian ini yaitu pada keterampilan mahasiswa calon guru untuk membuat grafik (MG) hubungan suatu fungsi tertentu dan keterampilan membaca/menuliskan/membuat simbol matematik (MS) dalam manifestasi matematika sebagai bahasa sains khususnya fisika.
Dalam artikel ini dipaparkan hasil studi deskriptif kualitatif tentang profil keterampilan generik sains calon guru fisika dalam kegiatan Eksperimen Fisika Dasar I. Studi penelitian deskriptif ini dilakukan di salah satu LPTK Jawa Barat dengan mengambil mata kuliah EFD I khususnya konsep Viskositas, Archimedes, dan Kalorimeter yang menjadi bidang kajian. Ketiga konsep yang dieksperimenkan dalam EFD I merupakan beberapa konsep penting dalam fisika, karena menjadi dasar beberapa konsep lanjutan lainnya. Karena ketiga konsep tersebut merupakan manifestasi dari konsep dalam mata kuliah mekanika dan termodinamika.




METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif menggunakan metode analisis kuantitatif dari data kualitatif deskriptif terhadap laporan akhir eksperimen mahasiswa dalam kegiatan EFD I tentang identifikasi keterampilan generik sains pada konsep viskositas, Archimedes, dan kalorimeter. Sehingga yang menjadi bahan dasar (data) dalam penelitian ini adalah laporan akhir mahasiswa pada kegiatan EFD I. Sampel penelitian berjumlah 22 mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika Angkatan 2009 mahasiswa perkuliahan Eksperiemn Fisika Dasar I dengan kode mata kuliah FI 111. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa laporan akhir eksperimen mahasiswa yang terdiri dari bagian: judul, tujuan eksperimen, landasan teori, alat dan bahan, langkah kerja, data, analisis data dan pembahasan, serta kesimpulan. Semua yang terkait dengan ketiga topik ini dianalisis menggunakan skala Liekert (1, 2, 3, 4, dan 5). Cara ini (skala Liekert) digunakan untuk menkuantisasi data-data yang bersifat deskriptif kualitatif menjadi lebih kuantitatif. Sehingga mempermudah dalam menganalisis dan membahas setiap data yang diperoleh.
Data diberikan skor 1 sampai dengan 5 yang mengandung arti bahwa: jika data kualitatif diberikan skor 1, maka data tersebut tergolong sangat rendah peran keterampilan generik sains-nya; jika data kualitatif diberikan skor 2, maka data tersebut tergolong rendah KGS-nya; jika data kualitatif diberikan skor 3, maka data tersebut tergolong sedang KGS-nya; jika data kualitatif diberikan skor 4, maka data tersebut tergolong tinggi KGS-nya; jika data kualitatif diberikan skor 5, maka data tersebut tergolong sangat tinggi KGS-nya. Setiap data yang sudah dikuantisasi disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk mempermudah menganalisisnya tanpa mengurangi nilai-nilai data deskriptif kualitatifnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil keterampilan generik sains mahasiswa calon guru dapat ditampilkan dalam Gambar 1 di bawah. Menuliskan simbol matematik yang paling tinggi terjadi pada konsep kalorimeter yaitu sebesar 4,76 yang terogolong peran KGS sangat tinggi. Berurutan kemudian yaitu viscositas 4,68 yang tergolong peran KGS sangat tinggi dan archimedes 4,55 yang tergolong peran KGS sangat tinggi. Pada KGS untuk keterampilan membuat grafik, paling tinggi yaitu viscositas 2,47 yang tergolong peran KGS sedang. Pada konsep archimedes mencapai skor 2,05 yang tergolong dalam peran KGS sedang. Sedangkan pada konsep kalorimeter, dalam menganalisis datanya tidak menggunakan grafik, sehingga melatihkan keterampilan generik sains dalam membuat grafik belum teramati.
Secara jelas, gambaran data yang terlihat menunjukkan keterampilan generik sains dalam menuliskan simbol matematik berada pada kategori yang sangat tinggi dibandingkan dengan keterampilan generik sains dalam membuat grafik berada pada kategori sedang untuk setiap konsep. Hal ini terjadi lebih dikarenakan mahasiswa calon guru sudah cukup terlatih dengan penggunaan simbol matematik sebagai penggambaran arti fisis suatu konsep fisika. Sedangkan keterampilan membuat grafik masih sangat jarang terlihat dan dilatihkan kepada masiswa untuk mata kuliah yang terkait. Sehingga profil keterampilan menuliskan simbol matematis sangat tinggi capaiannya dibandingkan dengan keterampilan membuat grafik. Selain hal tersebut, membuat grafik memerlukan keterampilan yang lebih komplek dibandingkan dengan hanya sekedar menuliskan simbol matematik, seperti halnya saat memberikan garis utama pada sebaran data. Sering kali mahasiswa lebih mementingkan banyaknya titik yang terlewati dibandingkan dengan simpangan baku (standard deviation) dari data tersebut. Capaian yang kurang maksimum (sedang) dalam keterampilan membuat grafik juga terletak pada saat membuat batas ujung antara garis utama dan garis bayangan (garis untuk simpangan baku terluar atas dan terluar bawah). Masih sangat sering terlihat dalam grafik, mahasiswa tidak menggambarkan batas ujung tegak lurus dengan sumbu x-nya melainkan tegak lurus dengan antar garisnya. Hal-hal tersebut mengakibatkan hasil analisis grafik secara manual dibandingkan dengan analisis grafik dari software Origin 5 maupun Microsoft Excel 2007 cenderung menyimpang cukup jauh. Sehingga kepresisian dan keakuratan data menggunakan analisis grafik manual cenderung lebih menyimpang dibandingkan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer. Padahal keterampilan dalam membuat grafik merupakan salah satu keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh mahasiswa calon guru fisika.

Gambar 1. Profil Keterampilan Generik Sains Mahasiswa Calon Guru Fisika dalam Kegiatan EFD I

Keterangan:
MS = Membuat/menuliskan simbol matematik
MG = Membuat grafik
ARC = Archimedes
VSC = Viscositas
KLM = Kalorimeter

Kategori Keterampilan Generik Sains (KGS):
0 < X< 1 = KGS sangat rendah
1 < X< 2 = KGS rendah
2 < X< 3 = KGS sedang
3 < X < 4 = KGS tinggi
4 < X < 5 = KGS sangat tinggi

Capaian KGS yang sangat tinggi (keterampilan menuliskan simbol matematik) dalam kegiatan EFD I, ternyata sejalan dengan hasil penelitian para ahli yang mengkaji KGS dalam pembelajaran fisika untuk berbagai konsep materi, seperti hasil penelitian Darmadi; Riyad et al. (Mubarrak, 2009) yang mengungkapkan bahwa model pembelajaran fisika berbasis teknologi informasi dapat meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan generik sains mahasiswa calon guru. Dalam penelitian kali ini tidak fokus pada penerapan model pembelajarannya, melainkan ingin menunjukkan pentingnya pembekalan keterampilan generik sains bagi calon guru fisika. Sehingga sangat penting untuk dilakukan penelitian lanjutan agar mahasiswa yang mempunyai profil KGS di bawah rata-rata (sedang) dapat lebih meningkatkan keterampilan generik sains supaya lebih bermakna. Down dan Hill (Mubarrak, 2009) menyatakan bahwa tujuan generic skill adalah agar pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari hasil belajar akan dapat diaplikasikan pada bidang kehidupan sosial, teknologi atau pada setiap perubahan konteks, namun yang lebih utama adalah menghasilkan efisiensi yang lebih besar melalui pengetahuan yang lebih efektif dan penggunaan kecakapan.
Hasil penelitian terdahulu yang menarik yaitu muncul dari Mubarrak (2009) yang melaporkan bahwa pandangan tentang generic skills (KGS) diartikan sebagai kecakapan yang diperoleh dari hasil pembelajaran atau pelatihan (kegiatan eksperimen) yang bisa diaplikasikan atau diadaptasikan pada situasi yang baru dan berbeda. Kecakapan generik memiliki karakteristik yang membedakan dan menyerupai kelompok kecakapan terkait, namun memenuhi kebutuhan dan tantangan yang meningkat di tempat kerja pada waktu yang berbeda sebagai kemajuan perubahan teknologi, sosial, dan perubahan konteks. Pandangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan sains menurut Hodson (1992); Salganik dan Stephens (2003) dalam Mubarrak (2009) yaitu: (a) belajar sains, untuk memahami gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh sains (yaitu, konsep-konsep, model-model, dan teori-teori), (b) belajar tentang sains, untuk memahami isu-isu penting di dalam filsafat, sejarah, dan metodologi dari sains, dan (c) belajar untuk menggunakan sains, agar mahasiswa mampu melakukan aktivitas kepemimpinan dan mewujudkan pengetahuan ilmiah dalam kehidupannya. Selanjutnya dikatakan bahwa: generic skills sebagai instrumen untuk mengatasi masalah kebutuhan skills di masa sekarang (masa kini) maupun di masa yang akan datang. Kebutuhan akan skills, didasarkan pada antisipasi pada perubahan sosial, teknologi, dan kompetisi global. Peningkatan keterampilan generik sains mahasiswa yang dicapai sebagaimana penjelasan di atas tidak terlepas dari peran penting proses pembelajaran. Proses pembelajaran pada konsep Archimedes, Viscositas, dan Kalorimeter yang berhasil terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, dan assesmen di luar model yang diimplementasikan. Pentingnya pengelolaan proses pembelajaran dimulai dari penetapan tujuan sebangaimana pendapat Smith et al. (Mubarrak, 2009), penetapan tujuan dan sasaran umum dalam setiap program atau kurikulum yang direncanakan selalu melibatkan terminologi generik yang umum pula. Panduan bagi para pengembang kurikulum terhadap seleksi keterampilan (skills) yang diperlukan bagi fungsi sosial dan pencapaian usaha bagi pengembangan manusia sepanjang masa. Hal ini sangat sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan peran generik sains dalam kehidupan di masa akan datang sangat diperlukan oleh mahasiswa calon guru fisika.
Sehingga mahasiswa sebagai calon guru fisika di masa yang akan datang dapat memecahkan setiap permasalahan dan menganilisis sesuai dengan kebutuhannya.

KESIMPULAN

Dari analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh temuan bahwa profil mahasiswa calon guru fisika dalam membekali keterampilan generik sains sebagai salah satu keterampilan dasar yang harus dimiliki menunjukkan hasil yang sangat baik untuk keterampilan menuliskan simbol matematik dan hanya cukup (sedang) mengasah keterampilan membuat grafik. Sehingga perlu disarankan supaya pembekalan keterampilan sains khususnya membuat grafik perlu ditingkatkan lagi. Karena kedua keterampilan generik sains ini sangat diperlukan oleh mahasiswa calon guru di dunia nyata kelak. Keterampilan Generik Sains (KGS) sangat penting dibekalkan kepada mahasiswa calon guru, untuk memecahkan setiap permasalahan fisis yang komplek menjadi lebih sederhana dan mudah dipecahkan di kehidupan nyata (life skills).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Gunawan et al. 2009. Developing Virtual Laboratory for Teaching Modern Physics, Proceeding International Seminar on Science Education, 386-395.
[2] Margono, H. 2000. Metode Laboratorium. Malang: Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang Press.
[3] Mubarrak, L. 2009. The Web-Based Learning Model On Dynamic Fluid Concept To Improve Student’s Science Generic Skills, Proceeding International Seminar on Science Education, 484-495.
[4] Samsudin, A, Suyana, I, & Suhendi, E. 2009. Using Of “CELS” In Basic Physics Experiment To Improve Learning Motivation And To Develop Performance Skills Of Student, Proceeding International Seminar on Science Education, 314-320.
[5] Taufiq & Wiyono, K. 2009. The Application of Hypothetical Deductive Learning Cycle Learning Model To Improve Senior High School Students’ Science Generic Skills On Rigid Body Equilibrium, Proceeding International Seminar on Science Education, 641-648.

Selasa, 13 Juli 2010

PROFIL KEMAMPUAN GENERIK SAINS CALON GURU FISIKA DALAM KEGIATAN EKSPERIMEN FISIKA DASAR I

PROFIL KEMAMPUAN GENERIK SAINS CALON GURU FISIKA DALAM KEGIATAN EKSPERIMEN FISIKA DASAR I

Achmad Samsudin, M.Pd.1, Dra. Heni Rusnayati, M.Si.2
1Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, Bandung, 40154
2Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, Bandung, 40154

Email: achmadsamsudin@yahoo.com


ABSTRAK

Untuk mengetahui profil kemampuan generik sains calon guru fisika dalam Eksperimen Fisika Dasar I (EFD I), penelitian dilakukan pada kegiatan eksperimen translasi rotasi, kombinasi pegas, dan resonansi. Generik Sains merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap individu dalam hal ini adalah calon guru fisika. Kemampuan Generik Sains yang diamati dan diteliti meliputi kemampuan membuat grafik (MG) dan kemampuan membaca/membuat simbol matematik (MS). Kemampuan generik sains sangat dibutuhkan bagi calon guru fisika, terutama pada kemampuan membuat grafik dan membaca simbol matematik. Karena hampir semua konsep fisika yang ada, memerlukan analisis menggunakan grafik dan memerlukan simbol matematis dalam menyatakan persamaan fisika. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan subjek penelitian adalah salah satu kelas EFD I di salah satu LPTK Jawa Barat. Data penelitian yang bersifat kualitatif dikumpulkan dan dianalisis dari laporan akhir praktikum mahasiswa, dengan dikuantitaifkan terlebih dahulu menggunakan skala Liekert (1, 2, 3, 4, dan 5). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca simbol matematik sudah cukup baik, sedangkan pada kemampuan membuat grafik masih tergolong sedang. Kesalahan (kelemahan) terbesar dalam kemampuan generik sains calon guru fisika yaitu pada kemampuan membuat grafik khususnya kemampuan membuat batas ujung atas dan bawah grafik. Akibat kesalahan tersebut, analisis data yang dihasilkan dengan grafik manual cenderung jauh lebih kurang teliti dibandingkan dengan analisis menggunakan software Origin 5 atau excel berbantuan komputer.

Keywords: Profil Calon Guru Fisika, Generik Sains, dan Ekperimen.

PENDAHULUAN

Laboratorium merupakan suatu tempat, atau ruangan yang dilengkapi dengan peralatan tertentu untuk melakukan suatu percobaan atau penyelidikan (Margono, 2000). Dalam melakukan kegiatan laboratorium (bereksperimen) bukan hanya kemampuan yang berkaitan dengan keterampilan memanipulasi alat saja yang dilatihkan, tetapi keterampilan dasar mahasiswa juga perlu mendapatkan penekanan. Salah satu keterampilan dasar yang perlu dikembangkan adalah keterampilan generik sains/KGS (Generic Skills). Karena keterampilan generik sains merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki semua orang terutama untuk mahasiswa calon guru fisika. Pada dasarnya, mahasiswa calon guru fisika akan menjumpai banyak tuntutan dan pemecahan masalah yang dihadapi di lapangan.
Peran keterampilan generik sains dalam pelaksanaan praktikum fisika sangat penting dalam rangka mendukung pembelajaran dan memberikan penekanan pada aspek proses dan produk sains. Hal ini didasarkan pada tujuan pembelajaran fisika sebagai proses yaitu meningkatkan kemampuan berpikir siswa, sehingga siswa tidak hanya mampu dan terampil dalam bidang psikomotorik, melainkan juga mampu berpikir sistematis, obyektif, dan kreatif. Untuk memberikan penekanan lebih besar pada aspek proses, siswa perlu diberikan keterampilan seperti mengamati, menggolongkan, mengukur, berkomunikasi, menafsirkan data, dan bereksperimen secara bertahap sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir siswa dan materi perkuliahan yang sesuai dengan kurikulum Sumaji (Gunawan et al., 2009). Laboratorium dalam pembelajaran fisika memiliki peranan yang sangat penting. Diantara peran tersebut yaitu: Pertama, sebagai wahana untuk mengembangkan keterampilan dasar (keterampilan generik sains) mengamati atau mengukur dan keterampilan proses lainnya seperti mencatat, membuat tabel, membuat grafik, menganalisis data, menarik kesimpulan, berkomunikasi, dan bekerjasama dalam tim. Kedua, laboratorium sebagai wahana untuk membuktikan konsep atau hukum-hukum alam sehingga dapat lebih memperjelas konsep yang telah dibahas sebelumnya. Ketiga, sebagai wahana mengembangkan keterampilan berpikir melalui proses pemecahan masalah dalam rangka siswa menemukan konsep sendiri. Melalui peran ini laboratorium telah dijadikan wahana untuk learning how to learn Wiyanto (Gunawan et al., 2009); Samsudin, Suyana, dan Suhendi (2009). Selain hal tersebut, menurut Brotosiswoyo (Taufiq & Wiyono, 2009), keterampilan generik sains yang didapat dari proses pembelajaran dimulai dengan pengamatan tentang gejala alam (1) pengamatan (langsung maupun tak langsung), (2) kesadaran akan skala besaran (sense of scale), (3) bahasa simbolik, (4) kerangka logika taat azas (logical self-consistency), (5) inferensi logika, (6) hukum sebab akibat (causality), (7) pemodelan matematik, dan (8) membangun konsep.
Berkaitan dengan metode laboratorium ini, maka kegiatan laboratorium dirancang dengan tujuan utamanya yaitu melatih mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan dasar salah satunya keterampilan generik sains mahasiswa calon guru dalam berpraktikum. Keterampilan generik sains mahasiswa dalam proses sains cenderung dan sering kurang mendapatkan perhatian. Contohnya keterampilan dalam membuat grafik, mahasiswa sering mengalami kesulitan yang cukup berarti dan mereka juga belum tahu pasti harus bagaimana membuat grafik dengan tepat. Hal ini dapat terlihat dari hasil laporan eksperimen mahasiswa dalam kegiatan perkuliahan Eksperimen Fisika Dasar I (EFD I). Selain itu, penggunaan simbol matematis dalam menampilkan fenomena fisis juga belum mendapatkan sentuhan yang cukup berarti dari berbagai pihak dosen. Padahal keterampilan generik sains dalam hal menggunakan simbol matematik sangat penting sekali bagi mahasiswa calon guru.
Permasalahan tersebut membutuhkan analisis dan kajian sesuai dengan pengembangan keterampilan mahasiswa calon guru dalam membuat grafik dan memungkinkan juga mahasiswa untuk menggunakan simbol-simbol matematik dalam kehidupan sehari-harinya sebagai seorang guru fisika kelak. Maka dari itu, peran generik sains sangat besar bagi mahasiswa calon guru fisika sebagai bekal kelak di dunia kerja maupun sekolah (kampus). Keterampilan generik sains yang diteliti dalam penelitian ini yaitu pada keterampilan mahasiswa calon guru untuk membuat grafik (MG) hubungan suatu fungsi tertentu dan keterampilan membaca/menuliskan/membuat simbol matematik (MS) dalam manifestasi matematika sebagai bahasa sains khususnya fisika.
Dalam artikel ini dipaparkan hasil studi deskriptif kualitatif tentang profil kemampuan generik sains calon guru fisika dalam kegiatan Eksperimen Fisika Dasar I. Studi penelitian deskriptif ini dilakukan di salah satu LPTK Jawa Barat dengan mengambil mata kuliah EFD I khususnya konsep translasi rotasi, kombinasi pegas, dan resonansi yang menjadi bidang kajian. Ketiga konsep yang dieksperimenkan dalam EFD I merupakan beberapa konsep penting dalam fisika, karena menjadi dasar beberapa konsep lanjutan lainnya. Karena ketiga konsep tersebut merupakan manifestasi dari konsep dalam mata kuliah mekanika, getaran, dan gelombang.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini bersifat deskriptif menggunakan metode analisis kuantitatif dari data kualitatif deskriptif terhadap laporan akhir eksperimen mahasiswa dalam kegiatan EFD I tentang identifikasi keterampilan generik sains pada konsep translasi rotasi, kombinasi pegas, dan resonansi. Sehingga yang menjadi bahan dasar (data) dalam penelitian ini adalah laporan akhir mahasiswa pada EFD I. Sampel penelitian berjumlah 22 mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika Angkatan 2009 mahasiswa perkuliahan Eksperiemn Fisika Dasar I dengan kode mata kuliah FI 111. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa laporan akhir eksperimen mahasiswa yang terdiri dari bagian: judul, tujuan eksperimen, landasan teori, alat dan bahan, langkah kerja, data, analisis data dan pembahasan, serta kesimpulan. Semua yang terkait dengan ketiga topik ini dianalisis menggunakan skala Liekert (1, 2, 3, 4, dan 5). Cara ini (skala Liekert) digunakan untuk menkuantisasi data-data yang bersifat deskriptif kualitatif menjadi lebih kuantitatif. Sehingga mempermudah dalam menganalisis dan membahas setiap data yang diperoleh.
Data diberikan skor 1 sampai dengan 5 yang mengandung arti bahwa: jika data kualitatif diberikan skor 1, maka data tersebut tergolong sangat rendah peran keterampilan generik sains-nya; jika data kualitatif diberikan skor 2, maka data tersebut tergolong rendah KGS-nya; jika data kualitatif diberikan skor 3, maka data tersebut tergolong sedang KGS-nya; jika data kualitatif diberikan skor 4, maka data tersebut tergolong tinggi KGS-nya; jika data kualitatif diberikan skor 5, maka data tersebut tergolong sangat tinggi KGS-nya. Setiap data yang sudah dikuantisasi disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk mempermudah menganalisisnya tanpa mengurangi nilai-nilai data deskriptif kualitatifnya.




HASIL DAN DISKUSI

Profil keterampilan generik sains mahasiswa calon guru dapat ditampilkan dalam Gambar 1 di bawah. Menuliskan simbol matematik yang paling tinggi terjadi pada konsep translasi rotasi yaitu sebesar 4,62 yang terogolong peran KGS sangat tinggi. Berurutan kemudian yaitu osilasi pegas 4,47 yang tergolong peran KGS sangat tinggi dan resonansi 3,93 yang tergolong peran KGS tinggi. Sedangkan untuk KGS pada keterampilan membuat grafik, paling tinggi yaitu osilasi pegas 3,67 yang tergolong peran KGS tinggi. Pada konsep resonansi dan translasi rotasi mencapai skor yang sama yaitu 2,71 yang tergolong dalam peran KGS sedang.
Secara jelas, gambaran data yang terlihat menunjukkan keterampilan generik sains dalam menuliskan simbol matematik berada pada kategori yang tinggi dan sangat tinggi dibandingkan dengan keterampilan generik sains dalam membuat grafik berada pada kategori sedang dang tinggi untuk setiap konsep. Hal ini terjadi lebih dikarenakan mahasiswa calon guru sudah cukup terlatih dengan penggunaan simbol matematik sebagai penggambaran arti fisis suatu konsep fisika. Sedangkan keterampilan membuat grafik masih sangat jarang terlihat dan dilatihkan kepada masiswa untuk mata kuliah yang terkait. Sehingga profil keterampilan menuliskan simbol matematis sangat tinggi capaiannya dibandingkan dengan keterampilan membuat grafik. Selain hal tersebut, membuat grafik memerlukan keterampilan yang lebih komplek dibandingka dengan hanya sekedar menuliskan simbol matematis, seperti halnya saat memberikan garis utama pada sebaran data. Sering kali mahasiswa lebih mementingkan banyaknya titik yang terlewati dibandingkan dengan simpangan baku (standard deviation) dari data tersebut. Capaian yang kurang maksimum (sedang) dalam keterampilan membuat grafik juga terletak pada saat membuat batas ujung antara garis utama dan garis bayangan (garis untuk simpangan baku terluar atas dan terluar bawah). Masih sangat sering terlihat dalam grafik, mahasiswa tidak menggambarkan batas ujunga tegak lurus dengan sumbu x nya melainkan tegak lurus dengan antar garisnya. Hal-hal tersebut mengakibatkan hasil analisis grafik secara manual dibandingkan dengan analisis grafik dari software Origin 5 maupun Microsoft Excel 2007 cenderung menyimpang cukup jauh. Sehingga kepresisian dan keakuratan data menggunakan analisis grafik manual cenderung lebih menyimpang dibandingkan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer. Padahal keterampilan dalam membuat grafik merupakan salah satu keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh mahasiswa calon guru.

Gambar 1. Profil Keterampilan Generik Sains Mahasiswa Calon Guru Fisika dalam Kegiatan EFD I

Keterangan:
MS = Membuat/menuliskan simbol matematik
MG = Membuat grafik
OP = Osilasi Pegas
RS = Resnonansi
TR = Translasi Rotasi

Kategori Keterampilan Generik Sains (KGS):
0 < X< 1 = KGS sangat rendah
1 < X< 2 = KGS rendah
2 < X< 3 = KGS sedang
3 < X < 4 = KGS tinggi
4 < X < 5 = KGS sangat tinggi

Capaian KGS yang cukup tinggi dalam kegiatan EFD I, ternyata sejalan dengan hasil penelitian para ahli yang mengkaji KGS dalam pembelajaran fisika untuk berbagai konsep materi, seperti hasil penelitian Darmadi; Riyad et al. (Mubarrak, 2009) yang mengungkapkan bahwa model pembelajaran fisika berbasis teknologi informasi dapat meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan generik sains mahasiswa calon guru. Dalam penelitian kali ini tidak fokus pada penerapan model pembelajarannya, melainkan ingin menunjukkan pentingnya pembekalan keterampilan generik sains bagi calon guru fisika. Sehingga sangat penting untuk dilakukan penelitian lanjutan agar mahasiswa yang mempunyai profil KGS rendah dapat lebih meningkatkan keterampilan generik sains supaya lebih bermakna. Down dan Hill (Mubarrak, 2009) menyatakan bahwa tujuan generic skill adalah agar pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari hasil belajar akan dapat diaplikasikan pada bidang kehidupan sosial, teknologi atau pada setiap perubahan konteks, namun yang lebih utama adalah menghasilkan efisiensi yang lebih besar melalui pengetahuan yang lebih efektif dan penggunaan kecakapan.
Hasil penelitian terdahulu yang menarik yaitu muncul dari Mubarrak (2009) yang melaporkan bahwa pandangan bahwa generic skills (KGS) diartikan sebagai kecakapan yang diperoleh dari hasil pembelajaran atau pelatihan (kegiatan eksperimen) yang bisa diaplikasikan atau diadaptasikan pada situasi yang baru dan berbeda. Kecakapan generik memiliki karakteristik yang membedakan dan menyerupai kelompok kecakapan terkait, namun memenuhi kebutuhan dan tantangan yang meningkat di tempat kerja pada waktu yang berbeda sebagai kemajuan perubahan teknologi, social, dan perubahan konteks. Pandangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan sains menurut Hodson (1992); Salganik dan Stephens (2003) dalam Mubarrak (2009) yaitu: (a) belajar sains, untuk memahami gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh sains (yaitu, konsep-konsep, model-model, dan teori-teori), (b) belajar tentang sains, untuk memahami isu-isu penting di dalam filsafat, sejarah, dan metodologi dari sains, dan (c) belajar untuk menggunakan sains, agar mahasiswa mampu melakukan aktivitas kepemimpinan dan mewujudkan pengetahuan ilmiah dalam kehidupannya. Selanjutnya dikatakan bahwa: generic skills sebagai instrumen untuk mengatasi masalah kebutuhan skills di masa sekarang (masa itu) maupun di masa yang akan datang. Kebutuhan skills didasarkan pada antisipasi pada perubahan sosial, teknologi, dan kompetisi global. Peningkatan keterampilan generik sains siswa yang dicapai sebagaimana penjelasan di atas tidak terlepas dari peran penting proses pembelajaran. Proses pembelajaran pada konsep translasi rotasi, resonansi, dan osilasi pegas yang berhasil terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi di luar model yang diimplementasikan. Pentingnya pengelolaan proses pembelajaran dimulai dari penetapan tujuan sebangaimana pendapat Smith et al (Mubarrak, 2009), penetapan tujuan dan sasaran umum dalam setiap program atau kurikulum yang direncanakan selalu melibatkan terminologi generik yang umum pula. Panduan pada para pengembang kurikulum terhadap seleksi skills yang diperlukan bagi fungsi sosial dan pencapaian usaha bagi pengembangan manusia sepanjang masa. Hal ini sangat sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan peran generik sains dalam kehidupan di masa akan datang sangat diperlukan oleh mahasiswa calon guru.

KESIMPULAN

Dari analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh temuan bahwa profil mahasiswa calon guru fisika dalam membekali keterampilan generik sains sebagai salah satu keterampilan dasar yang harus dimiliki menunjukkan hasil yang cukup baik untuk keterampilan menuliskan simbol matematik dan kurang (hanya cukup) mengasah keterampilan membuat grafik. Sehingga perlu disarankan supaya pembekalan keterampilan sains khususnya membuat grafik perlu ditingkatkan lagi. Karena kedua keterampilan generik sains ini sangat diperlukan oleh mahasiswa calon guru di dunia nyata kelak. Keterampilan Generik Sains (KGS) sangat penting dibekalkan kepada mahasiswa calon guru, untuk memecahkan setiap permasalahan fisis yang komplek menjadi lebih sederhana dan mudah dipecahkan di kehidupan nyata (life skills).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Gunawan et al. 2009. Developing Virtual Laboratory for Teaching Modern Physics, Proceeding International Seminar on Science Education, 386-395.
[2] Margono, H. 2000. Metode Laboratorium. Malang: Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang Press.
[3] Mubarrak, L. 2009. The Web-Based Learning Model On Dynamic Fluid Concept To Improve Student’s Science Generic Skills, Proceeding International Seminar on Science Education, 484-495.
[4] Samsudin, A, Suyana, I, & Suhendi, E. 2009. Using Of “CELS” In Basic Physics Experiment To Improve Learning Motivation And To Develop Performance Skills Of Student, Proceeding International Seminar on Science Education, 314-320.
[5] Taufiq & Wiyono, K. 2009. The Application of Hypothetical Deductive Learning Cycle Learning Model To Improve Senior High School Students’ Science Generic Skills On Rigid Body Equilibrium, Proceeding International Seminar on Science Education, 641-648.

Kamis, 25 Maret 2010

PEDOMAN PENGHITUNGAN BEBAN KERJA GURU

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN
TENAGA KEPENDIDIKAN
2008

KATA PENGANTAR
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru sebagai pendidik merupakan tenaga profesional. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat profesi pendidik yang diperoleh melalui sertifikasi dan bagi guru yang telah mendapat sertifikat pendidik akan diberikan tunjangan profesi yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa beban kerja guru mengajar seku rang-ku rangnya 24 jam dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan mengamanatkan bahwa guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi, dan telah memenuhi beban kerja mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Tidak semua guru berada pada kondisi ideal dengan beban mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu . Oleh karena itu diperlukan suatu panduan bagi guru dalam pemenuhan wajib mengajar minimal 24 jam per minggu agar guru yang telah memiliki sertifikat pendidik memperoleh haknya, yaitu tunjangan profesi.
Semoga buku pedoman ini bermanfaat dan dapat digunakan oleh semua pihak, terutama guru dalam memenuhi wajib mengajar 24 jam tatap muka per minggu.
Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada tim penulis dan pihak lain yang telah bekerja keras dengan penuh dedikasi dalam mewujudkan pedoman ini. Mudah-mudahan sertifikasi guru dalam jabatan dapat terlaksana sesuai dengan yang direncanakan secara efektif dan efisien.


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI i
ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
BAB II. TUGAS GURU 3
A. Ruang Lingkup 3
B. Jam Kerja 3
C. Uraian Tugas Guru 4
1 Merencanakan Pembelajaran 4
2 Melaksanakan Pembelajaran 4
3 Menilai Hasil Pembelajaran 5
4 Membimbing dan Melatih Peserta Didik 6
5 Melaksanakan Tugas Tambahan 7
D. Beban Tatap Muka 8
E. Kondisi Penyebab Kekurangan Jam Mengajar. 9
BAB III. PEMENUHAN BEBAN KERJA 11
A. Alternatif Pemenuhan 11
B. Kondisi Khusus dengan Persetujuan Menteri 13
BAB IV. PERHITUNGAN BEBAN KERJA GURU 15
A. Acuan Beban Kerja 15
B. Analisis Perhitungan 16
1 Prinsip Perhitungan 16
2 Format Perhitungan 17
3 SK Kepala Sekolah Tentang Beban Mengajar Guru 17
BAB V. PENUTUP 18

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guru profesional dan bermartabat akan melahirkan anak-anak bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Beban kerja guru secara eksplisit telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, namun demikian, masih diperlukan penjelasan tentang rincian penghitungan beban kerja guru dengan mempertimbangkan beberapa tugas-tugas guru di sekolah selain tugas utamanya sebagai pendidik.
Guru adalah bagian yang tak terpisahkan dari komponen pendidikan lainnya yaitu peserta didik, kurikulum/program pendidikan, fasilitas, dan manajemen. Perencanaan guru harus berbasis pada jenis jurusan atau program keahlian, dan jumlah rombongan belajar yang dibuka di sekolah. Terpenuhi atau tidaknya beban mengajar 24 jam tatap muka per minggu bagi jenis guru tertentu sebenarnya sudah dapat dideteksi pada saat jumlah guru yang dibutuhkan sudah dihitung. Sebagai contoh, apabila jumlah guru menurut hitungan dibutuhkan 2,25 orang dan disediakan sebanyak 2 orang saja, maka beban mengajar kedua guru tersebut masing-masing sudah 28 jam per minggu. Apabila dibutuhkan 2.5 orang guru dan tersedia 3 orang, maka salah satu guru tersebut tidak memenuhi jam tatap muka minimal 24 jam.
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa rasio guru terhadap siswa sudah ideal, sebagai contoh pada jenjang SD 1:21, SMP 1:17, dan SMA 1:14. Namun apabila dilihat secara detail pada jenis guru tertentu di beberapa daerah dilaporkan terdapat kekurangan guru atau kelebihan guru. Kondisi sekolah yang memiliki kelebihan guru akan menyebabkan guru tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar 24 jam per minggu. Sementara sekolah yang kekurangan guru akan menyebabkan beban kerja guru menjadi lebih tinggi dan proses pembelajaran menjadi tidak efektif. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perencanaan guru di sekolah belum baik.
Untuk itu disusunlah pedoman penghitungan beban kerja guru yang berisikan rumusan perhitungan beban kerja/tatap muka dan ekuivalensi tugas tambahan guru dengan jam tatap muka.

B. Tujuan
Pedoman ini menjadi acuan bagi guru, kepala sekolah, penyelenggara pendidikan, dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/ kota, dan warga sekolah serta pihak terkait lainnya untuk:
1. penghitungan beban kerja guru
2. mengoptimalkan tugas guru di sekolah
3. distribusi guru

BAB II
TUGAS GURU
A. Ruang Lingkup
Kewajiban guru sesuai Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 35 ayat (1) mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak¬banyaknya 40 jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
Dalam melaksanakan tugas pokok yang terkait langsung dengan proses pembelajaran, guru hanya melaksanakan tugas mengampu 1 (satu) jenis mata pelajaran saja, sesuai dengan kewenangan yang tercantum dalam sertifikat pendidiknya.
Disamping itu, guru sebagai bagian dari manajemen sekolah, akan terlibat langsung dalam kegiatan manajerial tahunan sekolah, yang terdiri dari siklus kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Rincian kegiatan tersebut antara lain penerimaan siswa baru, penyusunan kurikulum dan perangkat lainnya, pelaksanaan pembelajaran termasuk tes/ulangan, Ujian Nasional (UN), ujian sekolah, dan kegiatan lain. Tugas tiap guru dalam siklus tahunan tersebut secara spesifik ditentukan oleh manajemen sekolah tempat guru bekerja.
B. Jam Kerja
Sebagai tenaga profesional, guru baik PNS maupun bukan PNS dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban memenuhi jam kerja yang setara dengan beban kerja pegawai lainnya yaitu 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja (@ 60 menit) per minggu. Dalam melaksanakan tugas, guru mengacu pada jadwal tahunan atau kalender akademik dan jadwal pelajaran.
Kegiatan tatap muka dalam satu tahun dilakukan kurang lebih 38 minggu atau 19 minggu per semester. Kegiatan tatap muka guru dialokasikan dalam jadwal pelajaran yang disusun secara mingguan. Khusus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ada kalanya jadwal pelajaran tidak disusun secara mingguan, tapi mengunakan sistim blok atau perpaduan antara sistim mingguan dan blok. Pada kondisi ini, maka jadwal pelajaran disusun berbasis semester, tahunan, atau bahkan per tiga tahunan. Diluar

kegiatan tatap muka, guru akan terlibat dalam aktifitas persiapan tahunan/semester , ujian sekolah maupun Ujian Nasional (UN), dan kegiatan lain akhir tahun/semester.
C. Uraian Tugas Guru
1 Merencanakan Pembelajaran
Guru wajib membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pada awal tahun atau awal semester, sesuai dengan rencana kerja sekolah. Kegiatan penyusunan RPP ini diperkirakan berlangsung selama 2 (dua) minggu atau 12 hari kerja. Kegiatan ini dapat diperhitungkan sebagai kegiatan tatap muka.
2 Melaksanakan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan dimana terjadi interaksi edukatif antara peserta didik dengan guru, kegiatan ini adalah kegiatan tatap muka yang sebenarnya. Guru melaksanakan tatap muka atau pembelajaran dengan tahapan kegiatan berikut.
a. Kegiatan awal tatap muka
• Kegiatan awal tatap muka antara lain mencakup kegiatan pengecekan dan atau penyiapan fisik kelas, bahan pelajaran, modul, media, dan perangkat administrasi.
• Kegiatan awal tatap muka dilakukan sebelum jadwal pelajaran yang ditentukan, bisa sesaat sebelum jadwal waktu atau beberapa waktu sebelumnya tergantung masalah yang perlu disiapkan,
• Kegiatan awal tatap muka diperhitungan setara dengan 1 jam pelajaran.
b. Kegiatan tatap muka
• Dalam kegiatan tatap muka terjadi interaksi edukatif antara peserta didik dengan guru dapat dilakukan secara face to face atau menggunakan media lain seperti video, modul mandiri, kegiatan observasi/ekplorasi.
• Kegiatan tatap muka atau pelaksanaan pembelajaran yang dimaksud dapat dilaksanakan antara lain di ruang teori/kelas, laboratorium, studio, bengkel atau di luar ruangan.

• Waktu pelaksanaan atau beban kegiatan pelaksanaan pembelajaran atau tatap muka sesuai dengan durasi waktu yang tercantum dalam struktur kurikulum sekolah.
c. Membuat resume proses tatap muka
• Resume merupakan catatan yang berkaitan dengan pelaksanaan tatap muka yang telah dilaksanakan. Catatan tersebut dapat merupakan refleksi, rangkuman, dan rencana tindak lanjut.
• Penyusunan resume dapat dilaksanakan di ruang guru atau ruang lain yang disediakan di sekolah dan dilaksanakan setelah kegiatan tatap muka,
• Kegiatan resume proses tatap muka diperhitungan setara dengan 1 jam pelajaran.
3 Menilai Hasil Pembelajaran
Menilai hasil pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna untuk menilai peserta didik maupun dalam pengambilan keputusan lainnya.
Pelaksanaan penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes. Penilaian non tes dapat dibagi menjadi pengamatan dan pengukuran sikap serta penilaian hasil karya dalam bentuk tugas, proyek fisik, atau produk jasa.
a. Penilaian dengan tes.
• Tes dilakukan secara tertulis atau lisan, dalam bentuk ujian akhir semester, tengah semester atau ulangan harian, dilaksanakan sesuai kalender akademik atau jadwal yang telah ditentukan,
• Tes tertulis dan lisan dilakukan di dalam kelas,
• Penilaian hasil test, dilakukan diluar jadwal pelaksanaan test, dilakukan di ruang guru atau ruang lain.
• Penilaian test tidak dihitung sebagai kegiatan tatap muka karena waktu pelaksanaan tes dan penilaiannya menggunakan waktu tatap muka.
b. Penilaian non tes berupa pengamatan dan pengukuran sikap.

• Pengamatan dan pengukuran sikap dilaksanakan oleh semua guru sebagai bagian tidak terpisahkan dari proses pendidikan, untuk melihat hasil pendidikan yang tidak dapat diukur lewat test tertulis atau lisan,
• Pengamatan dan pengukuran sikap dapat dilakukan di dalam kelas menyatu dalam proses tatapmuka pada jadwal yang ditentukan, dan atau di luar kelas,
• Pengamatan dan pengukuran sikap, dilaksanakan diluar jadual pembelajaran atau tatap muka yang resmi, dikategorikan sebagai kegiatan tatap muka.
c. Penilaian non tes berupa penilaian hasil karya.
• Hasil karya siswa dalam bentuk tugas, proyek dan atau produk, portofolio, atau bentuk lain dilakukan di ruang guru atau ruang lain dengan jadwal tersendiri,
• Penilaian ada kalanya harus menghadirkan peserta didik agar tidak terjadi kesalahan pemahanan dari guru mengingat cara penyampaian informasi dari siswa yang belum sempurna,
• Penilaian hasil karya ini dapat dikategorikan sebagai kegiatan tatap muka, dengan beban yang berbeda antara satu mata pelajaran dengan yang lain. Tidak tertutup kemungkinan ada mata pelajaran yang nilai beban non tesnya sama dengan nol.
4 Membimbing dan Melatih Peserta Didik
Membimbing dan melatih peserta didik dibedakan menjadi tiga yaitu membimbing atau melatih peserta didik dalam pembelajaran, intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
a. Bimbingan dan latihan pada kegiatan pembelajaran
• Bimbingan dan latihan pada kegiatan pembelajaran adalah bimbingan dan latihan yang dilakukan menyatu dengan proses pembelajaran atau tatap muka di kelas,
b. Bimbingan dan latihan pada kegiatan intrakurikuler
• Bimbingan kegiatan intrakurikuler terdiri dari remedial dan pengayaan pada mata pelajaran yang diampu guru.
• Kegiatan remedial merupakan kegiatan bimbingan dan latihan kepada peserta didik yang belum menguasai kompetensi yang harus dicapai,

• Kegiatan pengayaan merupakan kegiatan bimbingan dan latihan kepada peserta didik yang telah mencapai kompetensi,
• Pelaksanaan bimbingan dan latihan intrakurikuler dilakukan dalam kelas pada jadwal khusus, disesuaikan kebutuhan, tidak harus dilaksanakan dengan jadwal tetap setiap minggu,
• Beban kerja intrakurikuler sudah masuk dalam beban kerja tatap muka.
c. Bimbingan dan latihan dalam kegiatan ekstrakurikuler.
• Ekstrakurikuler bersifat pilihan dan wajib diikuti peserta didik,
• Dapat disetarakan dengan mata pelajaran wajib lainnya,
• Pelaksanaan ekstrakurikuler dilakukan dalam kelas dan atau ruang/tempat lain sesuai jadwal mingguan yang telah ditentukan dan biasanya dilakukan pada sore hari,
• Jenis kegiatan ekstrakurikuler antara lain adalah.
- Pramuka
- Olimpiade/Lomba Kompetensi Siswa
- Olahraga - Kesenian - Karya Ilmiah Remaja
- Kerohanian - Paskibra
- Pecinta Alam
- PMR
- Jurnalistik/Fotografi
- UKS
- dan sebagainya
• Kegiatan ekstrakurikuler dapat disebut sebagai kegiatan tatap muka
5 Melaksanakan Tugas Tambahan
Tugas-tugas tambahan guru dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori yaitu tugas struktural, dan tugas khusus.
a. Tugas tambahan struktural
• Tugas tambahan struktural sesuai dengan ketentuan tentang struktur organisasi sekolah,
• Jenis tugas tambahan sruktural dan wajib tatap muka guru seperti tercantum dalam Tabel 1.

b. Tugas tambahan khusus
• Tugas tambahan khusus hanya berlaku pada jenis sekolah tertentu, untuk menangani masalah khusus yang belum diatur dalam peraturan yang mengatur organisasi sekolah.
• Jenis tugas tambahan khusus dan ekuivalensi beban tatap muka seperti tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jenis Tugas Tambahan Guru.
No Kategori Jenis Tugas
Tambahan Wajib
mengajar * ekuivalensi
jabatan

I Struktural 1. Kepala Sekolah 6 18
2. Wakil Kepala Sekolah 12 12
3. Kepala Perpustakaan 12 12
4. Kepala Laboratorium 12 12
5. Ketua Jurusan Program Keahlian 12 12
6. Kepala Bengkel 12 12
7. Dll ** 12 12
II Khusus 1. Pembimbing Praktek Kerja Industri 12 12
2. Kepala Unit Produksi 12 12


Catatan:
1. * nilai minimal
2. ** tergantung jenis sekolah
D. Beban Tatap Muka
Jenis kegiatan guru yang dikategorikan tatap muka dan bukan tatap muka dicantumkan dalam Tabel 2. Dalam tabel tersebut juga dicantumkan ekuivalensi jam untuk kegiatan tatap muka selain kegiatan tatap muka di kelas.

Tabel 2 Jenis Guru dan Beban Tatap Muka
No Jeni s Kegiatan Guru Kategori Ekuivalensi
jam/
minggu* Keterangan
TM BTM
1 Merencanakan pembelajaran v 2
2. Melaksanakan pembelajaran:
a. Kegiatan awal tatap muka v 2
b. Keg iatan tatap muka di kelas v
c. Membuat resume tatap muka v 2
3. Menilai hasil pembelajaran
a. Penilaian tes v 0
b. Penilaian sikap v 2 Semua guru
c. Penilaian karya v 2 Mata pelajaran tertentu
4. Membimbing dan melatih
a. Bimbingan pada tatap muka v 0
b. Bimbingan intrakurikuler v 0
c. Bimbingan ekstrakurikuler v 2
5. Melaksanakan tugas tambahan
a. Kepala sekolah 18
b. Wakil kepala sekolah 12
c. Kepala perpustakaan 12
d. Kepala laboratorium 12
e. Ketua jurusan/program 12
f. Kepala bengkel 12
g. Pembimbing praktek kerja industri 12 Hanya di SMK
h. Kepala unit produksi 12 Hanya di SMK
i. Tugas lain 6 Seuai kebutuhan sekolah

Catatan:
TM = Tatap Muka
BTM = Bukan Tatap Muka
* = beban kerja tidak dikalikan jumlah rombongan belajar
E. Kondisi Penyebab Kekurangan Jam Mengajar.
Seorang guru tidak dapat memenuhi jumlah jam mengajar sebanyak 24 (dua puluh empat) jam tatap muka per minggu disebabkan salah satu atau beberapa kondisi sebagai berikut.
1. Jumlah peserta didik dan rombongan belajar terlalu sedikit
Jumlah peserta didik terlalu sedikit atau jumlah rombongan belajar juga sedikit, akan mengakibatkan jumlah jam tatap muka untuk mata pelajaran tertentu belum mencapai angka 24 jam per minggu. Agar jumlah beban mengajar mencapai 24 jam atau kelipatannya, dibutuhkan jumlah rombongan belajar yang memadai.

2. Jam pelajaran dalam kurikulum sedikit
Jumlah jam pelajaran mata pelajaran tertentu dalam struktur kurikulum ada yang hanya 2 jam per minggu antara lain Bahasa asing lain, Sejarah, Agama, Penjas, Kesenian, Kewirausahaan, Muatan Lokal, Keterampilan, dan Pengembangan Diri mengakibatkan guru yang mengajar pelajaran tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban minimal 24 jam tatap muka per minggu.
3. Jumlah guru di satu sekolah untuk mata pelajaran tertentu terlalu banyak
Kondisi ini biasanya terjadi kerena kesalahan dalam proses rekruitmen atau karena perubahan beban mengajar guru dari 18 jam menjadi 24 jam pelajaran per minggu. Jumlah guru yang melebihi dari kebutuhan yang direncanakan, mengakibatkan ada guru yang tidak dapat mengajar 24 jam per minggu.
4. Sekolah pada daerah terpencil atau sekolah khusus
Sekolah yang berlokasi di daerah terpencil biasanya memiliki jumlah peserta didik yang sedikit. Kondisi ini terjadi karena populasi penduduk juga sedikit
Sekolah khusus yang karena kekhususan programnya, jumlah peserta didiknya sangat sedikit. Karena rombongan belajarnya sedikit, mengakibatkan guru mengajar tidak sampai 24 jam per minggu. Salah satu contoh adalah sekolah luar biasa, dimana jumlah muridnya memang sedikit. Contoh lain pada Program Keahlian Pedalangan di SMK. Animo terhadap program keahlian ini sangat sedikit, tapi memiliki nilai strategis melestarikan budaya seni tradisi. Animo pada program keahlian yang terkait dengan sektor pertanian pada daerah tertentu juga rendah.

BAB III
PEMENUHAN BEBAN KERJA
A. Alternatif Pemenuhan
Guru yang tidak memenuhi kewajiban mengajar 24 jam tatap muka per minggu dapat memilih alternatif pemenuhan kewajiban mengajar seperti berikut ini.
1. Mengajar pada sekolah lain, pendidikan terbuka, dan kelompok belajar.
a. Mengajar pada sekolah atau madrasah lain
Wajib mengajar 24 jam tatap muka per minggu dapat dipenuhi seorang guru dengan mengajar di sekolah atau madrasah lain baik negeri maupun swasta pada kabupaten/kota yang sama sesuai mata pelajaran yang diampu. Sebagai contoh, misalnya (1) guru bahasa Inggris di suatu SMK mengajar bahasa Inggris di SMP/MTs, SMA/MA atau SMK/MAK lainnya, (2) Guru Kejuruan SMK mengajar keterampilan di SMP/MTs atau SMA/MA.
b. Menjadi Guru Bina/Pamong pada SMP Terbuka
SMP Terbuka merupakan salah satu pola layanan pendidikan yang diperuntukkan bagi peserta didik yang pada pagi hari bekerja membantu orangtua sehingga tidak mempunyai waktu untuk mengikuti pembelajaran di sekolah reguler. Pola pelaksanaan SMP Terbuka mensyaratkan adanya Guru Pamong dan Guru Bina yang membantu dan membimbing peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran. Guru Pamong menuntun peserta didik di Tempat Kegiatan Belajar (TKB). Guru Bina membimbing dan melaksanakan pembelajaran tatap muka di sekolah induk.
Guru Pamong merupakan anggota masyarakat yang ditugasi untuk membimbing kegiatan belajar siswa di TKB. Namun, tidak menutup kemungkinan guru yang mengajar di sekolah juga menjadi guru pamong di TKB dan bertugas sebagai fasilitaor.
c. Menjadi Tutor pada program kelompok belajar Paket A, Paket B, dan Paket C
Seorang guru dapat memenuhi kewajiban mengajar 24 jam per minggu dengan mengajar di Kelompok belajar Paket A, Paket B, dan Paket C pada kabupaten/kota yang sama sesuai mata pelajaran yang diampu.
Pemenuhan beban kerja minimal 24 jam tatap muka per minggu dengan mengajar di sekolah lain atau pada pendidikan nonformal dapat dilaksanakan dengan ketentuan minimal mengajar 12 (dua belas) jam tatap muka per minggu pada satuan pendidikan di mana guru diangkat sebagai guru tetap. Bagi guru yang mengajar atau bertugas di sekolah lain, harus memenuhi persyaratan beban kerja maksimum seperti tercantum dalam Tabel .3 .
Tabel 3. Beban Kerja Maksimum Mengajar di Sekolah Lain.
No Tugas Beban
Kerja
maksimum Keterangan
1 Mengajar di sekolah lain (dgn mata pelajaran yang sama) 12 Sesuai tugas beban jam pelajaran
2 Guru Bina SMP Terbuka (sesuai mata pelajaran) 2 Khusus untuk kunjungan ke TKB.
Bimbingan belajar siswa SMP Terbuka di sekolah induk dihitung sebagai beban jam pelajaran reguler
3 Guru Pamong SMP Terbuka 2 Tugasnya lebih banyak pada administrasi pembelajaran sesuai dengan jadwal belajar di TKB
4 Tutor pada pendidikan non formal (sesuai mata pelajaran) 2 Jumlah jam pelajaran sesuai dengan jadwal

2. Melaksanakan Team Teaching
Guru tetap yang tidak dapat memenuhi beban kerja minimal 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan maksimal 40 (empat puluh) jam tatap muka per minggu pada satuan pendidikan di mana dia diangkat sebagai guru tetap, dapat memenuhi beban kerjanya melalui sistem tim pengajaran bersama (team teaching).
Team teaching memiliki prinsip bahwa dalam satu kelompok belajar untuk satu mata pelajaran diampu oleh lebih dari satu orang guru. Akan ada dua atau tiga orang guru yang menangani satu jam pelajaran dalam satu rombongan belajar, di mana satu di antaranya mengajar dan menyampaikan pelajaran serta yang lainnya bertindak sebagai observer atau fasilitator. Melalui team teaching selain terakomodasi aspek metode pembelajarannya, juga akan dapat diawasi aspek lain untuk mengetahui tingkat pemahaman murid.

Team teaching dapat dilakukan oleh guru-guru dalam satu sekolah yang sama atau oleh guru-guru dari sekolah yang berbeda.
Team teaching bisa dilaksanakan apabila tuntutan kurikulum membutuhkan lebih dari satu orang guru untuk menangani satu rombongan belajar yang proses pembelajarannya merupakan satu kesatuan (tidak bisa dipisahkan tempatnya). Masing-masing guru dalam satu proses pembelajaran memiliki tugas masing-masing yang dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dalam satu rombongan belajar.
3. Melaksanakan Pengayaan dan Remedial khusus
Guru tetap yang tidak dapat memenuhi beban kerja minimal 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan maksimal 40 (empat puluh) jam tatap muka per minggu pada satuan pendidikan di mana dia diangkat sebagai guru tetap, dapat diberi tugas melaksanakan pengayaan dan remedial khusus.
Pengayaan dan remedial khusus memiliki prinsip bahwa penugasan secara khusus bagi satu orang guru untuk kelompok peserta didik yang memerlukan bimbingan secara khusus. Guru yang medapat tugas tersebut disetarakan dengan beban mengajar 2 jam perminggu.
B. Kondisi Khusus dengan Persetujuan Menteri
Ada kondisi bagi guru yang secara konstektual tidak mungkin memiliki beban mengajar 24 jam. Kondisi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus;
b. berkeahlian khusus dan/atau;
c. dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional
Kondisi khusus yang dimintakan persetujuan Menteri Pendidikan Nasional sebagaimana tabel 4 berikut ini.

BAB IV
PERHITUNGAN BEBAN KERJA GURU
A. Acuan Beban Kerja
Satuan waktu kegiatan tatap muka per jam pembelajaran pada masing¬masing satuan pendidikan dicantumkan dalam tabel 5 sebagai berikut.
Tabel 5. Alokasi Waktu Satu Jam Tatap Muka.
No Jenis Sekolah Alokasi waktu
satu jam tatap
muka (menit) Jumlah jam tatap muka
per minggu
1. SD/SDLB:
- Kelas I s.d III 35 29 s.d 32
- kelas IV s.d VI 35 34
2. SMP, MTs, SMPLB 40 34
3. SMA, MA, SMALB 45 38 s.d 39
4. SMK, MAK 45 38 s.d 39


Sumber Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi
Dari angka dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa beban tatap muka dalam satu minggu kerja untuk tiap jenjang pendidikan berbeda.
Beban kerja guru yang dapat dihitung sebagai pemenuhan kewajiban mengajar 24 jam tatap muka per minggu adalah jumlah jam kerja guru apabila mengajar pada mata pelajaran sesuai dengan bidang keahliannya. Misalnya guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai guru mata pelajaran Matematika, maka jam kerja yang dapat dihitung adalah jumlah jam mengajar guru tersebut pada mata pelajaran Matematika saja.
Perhitungan beban kerja guru adalah bagian tak terpisahkan dari perencanaan kebutuhan guru dalam perencanaan sekolah seutuhnya. Terpenuhi atau tidaknya beban mengajar 24 jam tatap muka per minggu bagi jenis guru tertentu sebenarnya sudah dapat dideteksi pada saat jumlah guru yang dibutuhkan sudah dihitung. Sebagai contoh, jumlah guru menurut hitungan dibutuhkan 2,25 orang dan disediakan sebanyak 2 orang saja, maka beban mengajar kedua guru tersebut masing-masing sudah 28 jam per minggu. Apabila menurut perhitungan dibutuhkan 2,8 orang guru dan disediakan 3 orang, maka masing-masing guru akan mendapat beban tatap muka 22,4 jam per minggu. Apabila disediakan 2 orang, masing-masing akan mengajar 33,6 jam per minggu.
Perhitungan beban guru mengacu pada jumlah kebutuhan guru yang
dihasilkan dalam proses perencanaan guru pada tingkat sekolah. Dengan
mempertimbangkan tugas tambahan bagi guru tertentu, maka jam tatap

muka didistribusikan kepada guru yang ada. Dari analisis ini akan didapatkan guru yang mengajar minimal 24 jam dan kurang dari 24 jam. Bagi guru yang tidak memenuhi 24 jam mengajar dicarikan penyelesaian masalahnya sesuai dengan kondisi dan kewenangan fihak yang berhak mengambil keputusan. Bagi guru yang memenuhi mengajar minimal 24 jam, dibuatkan Surat Keputusan mengajar oleh kepala sekolah.
Alur pemikiran distribusi beban tatap muka guru seperti tercantum dalam Diagram 1 di bawah ini.
Diagram 1 Alur Distribusi Beban Mengajar.

prioritasnya. Guru yang mendapat tugas tambahan diberi beban tatap muka sesuai ketentuan dalam tabel 1, sehingga jam tatap muka yang seharusnya dimiliki dapat didistribusikan kepada guru lain yang sejenis.
2 Format Perhitungan
Format perhitungan pada prinsipnya tidak ditentukan bentuknya. Analisis perhitungan coba-coba dapat menggunakan jadwal mingguan yang dimiliki sekolah atau menggunakan format lain. Hasil akhir kemudian dicantumkan dalam Surat Keputusan (SK) tugas mengajar yang diterbitkan oleh kepala sekolah.
3 SK Kepala Sekolah Tentang Tugas Mengajar Guru
SK Tugas Guru yang diterbitkan oleh kepala sekolah pada awal tahun pelajaran, dibuat sesuai dengan ketentuan yang berlaku di sekolah dan kabupaten/kota dimana sekolah berada. Dalam SK harus mencantumkan jenis dan jam tatap muka dan tugas tambahan apabila ada.



KONDISI
KHUSUS PERSETUJUAN
MENDIKNAS


B. Analisis Perhitungan
1 Prinsip Perhitungan
Penghitungan beban guru dilakukan dengan prinsip coba-coba, dengan mendistribusikan semua beban kerja sekolah pada guru yang ada di sekolah. Jumlah jam mata pelajaran tertentu didistribusikan kepada guru pengampu yang ada, berturut-turut sesuai urutan

BAB V
PENUTUP
Pemenuhan kewajiban mengajar selama 24 jam tatap muka per minggu merupakan sebuah konsekuensi yang harus dilakukan oleh seorang guru untuk memperoleh tunjangan guru. Pemenuhan kewajiban 24 jam juga bisa merupakan solusi dari pemerataan guru. Langkah ini juga dilakukan sebagai upaya agar tidak terjadi ketimpangan jam mengajar antara guru di sekolah yang satu dan sekolah yang lain. Di samping itu untuk mengantisipasi tidak optimalnya pemberdayaan guru, maka diperlukan perhitungan dan pemetaan guru di setiap kabupaten/kota dengan lebih baik.
Program mutasi bagi guru-guru di semua sekolah yang ada di dalam satu Kabupaten/Kota sudah seharusnya dilakukan, karena dapat menjadi salah satu solusi pemenuhan beban kerja guru dan menumpuknya guru di sekolah perkotaan. Sekolah yang kekurangan guru akan mendapat tambahan guru dari sekolah lain. Begitu pun sekolah yang kelebihan guru, nanti akan dilihat guru mata pelajaran mana saja yang kira-kira bisa dikurangi untuk dipindahkan ke sekolah yang kekurangan. Guru-guru yang menjelang pensiun dalam jangka dua atau tiga tahun ke depan perlu mendapat perhatian, karena jika di satu sekolah ada guru yang pensiun, maka akan ada guru yang dirotasi karena akan menggantikan guru yang pensiun.
Berhasilnya implementasi pemenuhan beban kerja guru sangat bergantung pada pemahaman, kesadaran, keterlibatan dan upaya sungguh-sungguh dari segenap unsur yang terkait, serta dukungan pemerintah dan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan pemenuhan beban kerja guru juga menjadi harapan nyata bagi pembangunan pendidikan, pembangunan guru profesional yang mampu menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara adil, bermutu, dan relevan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia dan global.
Penyebaran guru yang tidak merata menimbulkan terjadinya pendayagunaan guru yang tidak efisien di beberapa tempat. Guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban mengajar 24 jam tatap muka per minggu disarankan untuk mutasi/pindah ke sekolah lain yang kekurangan guru. Pengaturan tentang pemindahan guru mengikuti kebijakan masing-masing pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota setempat.

Lampiran 1: Contoh SK Kepala Sekolah tentang Beban Mengajar Guru.
Surat Keputusan Kepala Sekolah
Nomor:
Tentang
Beban Kerja Guru Tahun Pelajaran
Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Kepala Sekolah , Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Provinsi
Menimbang : a. Bahwa proses belajar mengajar merupakan inti
proses penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan;
b. Bahwa untuk menjamin kelancaran proses belajar perlu ditetapkan pembagian tugas mengajar dan tugas tambahan bagi guru;
d.
e.
Mengingat : a. UU Nomor 20 Tahun 2003
b. PP Nomor 19 Tahun 2005
d.
e.
MEMUTUSKAN
Menetapkan: BEBAN KERJA GURU TAHUN PELAJARAN
Pertama : Beban kerja guru tahun pelajaran - meliputi
kewajiban tatap muka/mengajar dan tugas tambahan lainnya.

Kedua : Beban kerja guru tersebut tertuang dalam daftar Lampiran: SK Kepala Sekolah Nomor
terlampir. Tanggal
Ketiga : Keputusan ini mulai berlaku pada saat ditetapkan.



Kepala Sekolah,
NIP

PENILAIAN PORTOPOLIO DALAM PEMBELAJARAN FÍSIKA BERBASIS INQUARI TERBIMBING DI SMP NEGERI 2 SINGARAJA

I Kade Suardana
Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Pendidikan
Ganesha
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah 1) meningkatkan hasil belajar fisika siswa pada pokok bahasan gerak dan gaya melalui implementasi penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika berbasis inquari terbimbing, dan 2) mendeskripsikan respon siswa terhadap model pembelajaran yang diimplentasikan. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang melibatkan 41 orang siswa kelas VIIF SMP N 2 Singaraja pada tahuan ajaran 2007/2008. Tindakan dilakukan dalam dua siklus pembelajaran. Data dikumpulkan dengan pedoman observasi, tes, kuesioner dan pedoman wawancara, dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan 1) Penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika berbasis inquari terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Terjadi peningkatan perolehan hasil belajar siswa sebesar 8,3% pada kompetensi kognitif siswa (dari skor rata-rata sebesar 74,3 dengan kualifikasi baik pada siklus I menjadi sebesar 80,5 dengan kualifikasi baik pada siklus II), sebesar 17,4% pada kompetensi afektif siswa (dari skor rata- rata sebesar 69,0 dengan kualifikasi cukup baik pada siklus I menjadi sebesar 81,0 dengan kualifikasi baik pada siklus II), dan sebesar 15,4% pada kompetensi psikomotor siswa (dari skor rata- rata sebesar 68,4 dengan kualifikasi cukup baik pada siklus I menjadi sebesar 78,9 dengan kualifikasi baik pada siklus II). 2) Respon siswa terhadap penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika bebasis inquari terbimbing adalah sangat positif.
Kata-kata kunci: inquari terbimbing, penilaian portopolio
Abstract
The purpose of this research was 1) increasing the quality of the
student’s achievement in the motion and force concept through
the portpolio assessments in the the physics learning based on the

guided discovery inquiry, and 2) describing the student’s response concerning the application of implementation of constructional program. This research was a classroom research which involved 41 students of class VIIF of SMP N 2 Singaraja in the academic year 2007/2008. The action research was conducted in two cycles. The data were collected by using list- observation, test, questionnaire and list-interview; and analyzed descriptively. The result of this research indicated that, the implementation of the portfolio assesment in the the physics learning based on the guided discovery inquiry can improve the student’s achievement. The student’s achievement quantitatively increased by 8.3% in cognitive competence, 17.4% in affective competence, and 15.4% for psychomotor competence. The student’s response to the implementation of the instructional program was very positive.
Key words: guided inquiry, portfolio assessment
Pendahuluan
Berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan selama 3 bulan (bulan Januari sampai Maret 2006) pada pembelajaran fisika di SMP Negeri 2 Singaraja, ditemukan bahwa sebagian besar guru-guru fisika masih menerapkan penilaian konvensional yang mana hasil belajar siswa dinilai berdasarkan kemampuan siswa pada penguasaan bahan yang diujikan dalam bentuk tes obyektif dan tanpa memberikan umpan balik dari hasil tes tersebut. Reaksi siswa terhadap penilaian yang diterapkan guru adalah siswa cenderung belajar semata-mata berorientasi pada penguasaan materi secara kognitif saja dan kurang memperhatikan aspek afektif dan psikomotor. Hal ini bisa dilihat ketika siswa diberi pertanyaan mengenai alat tertentu, kegunaan serta bagaimana cara menggunakannya, siswa tidak dapat menjelaskan secara seksama dan tidak dapat menggunakannya dengan benar. Terhadap alat-alat laboratorium, siswa tidak memperhatikan bagaimana memperlakukan alat-alat tersebut dengan baik, bahkan ada siswa yang menggunakan alat-alat laboratorium sebagai mainan.
Penguasaan materi secara kognitif ini menimbulkan pandangan negatif terhadap pembelajaran fisika. Berdasarkan hasil respon siswa melalui angket respon yang diberikan, sebagian besar siswa (hampir 80% dari 40 siswa) di kelas VIIF SMP N 2 Singaraja pada tahun ajaran 2005/2006 memandang bahwa pelajaran fisika adalah pelajaran yang identik dengan rumus-rumus dan perhitungan-perhitungan yang tidak ada implementasinya

dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pelajaran fisika menjadi pelajaran yang tidak menarik, tidak menyenangkan, bahkan dibenci. Pandangan negatif ini kemudian lebih diperparah lagi dengan model pembelajaran yang digunakan cenderung bernuansa ceramah. LKS yang diberikan guru kepada siswa hanya dijelaskan melalui ceramah dan jarang memfasilitasi siswa dengan percobaan untuk melatih proses berpikir siswa, sehingga pelajaran fisika menjadi membosankan. Dampak implementasi pembelajaran yang bernuansa konvesional tersebut dapat dilihat dari hasil belajar siswa pada pelajaran fisika yang masih sangat rendah, di mana ketuntasan klasikal yang dicapai oleh siswa kelas VIIF pada semester 1 tahun ajaran 2005/2006 karang dari 85% dengan nilai rata-rata kelas sebesar 6,25. Agar proses belajar siswa tidak hanya berorientasi pada pengembangan aspek kognitif saja tetapi juga berorientasi pada aspek afektif dan psikomotor maka perlu kiranya dikembangkan suatu penilaian yang mengarah pada pencapaian tujuan tersebut.
Perubahan pandangan dari kurikulum 1994 dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sedemikian besar tanpa didukung rambu-rambu pelaksanaan secara jelas telah menyebabkan guru-guru di lapangan mengalami kesulitan. Hasil wawancara yang dilakukan dengan guru pengajar di kelas VII diperoleh kesimpulan, bahwa guru mengalami kesulitan dalam menafsirkan kedalaman kompetensi dasar yang dimaksudkan dalam KBK dan tidak ada kriteria yang jelas dengan tingkat ketercapaian kompetensi, sehingga menyulitkan dalam penilaian. Permasalahan utama yang dihadapi guru adalah dalam mengintegrasikan penilaian ke dalam pembelajaran yang dituntut oleh KBK, yang selama ini dipandang guru sebagai kegiatan terpisah.
Berdasarkan semua permasalahan yang terungkap tersebut maka perlu diupayakan pengimplentasian suatu perspektif penilaian baru yaitu penilaian portofolio yang diterapkan dalam pembelajaran fisika sebagai upaya meningkatan kompetensi dasar siswa. Dalam KBK atau kurikulum 2004, penilaian portofolio menjadi salah satu kewajiban untuk dilakukan guru di kelas. Portofolio merupakan catatan atau kumpulan hasil karya siswa yang didokumentasi secara baik dan teratur. Portofolio dapat berbentuk tugas-tugas yang dikerjakan siswa, jawaban siswa atas pertanyaan guru, catatan hasil observasi guru, catatan hasil wawancara guru dengan siswa, laporan kegiatan siswa, dan karangan yang dibuat siswa (Rusoni, 2001). Menurut Surapranata dan Hatta (2004), portofolio diartikan sebagai kumpulan karya atau dokumen siswa yang tersusun secara sistematis dan

terorganisasi yang diambil selama proses pembelajaran, digunakan oleh guru dan siswa untuk menilai dan memantau perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa dalam mata pelajaran tertentu.
Pranata (2004) menyatakan bahwa penilaian portofolio mampu menghargai siswa sebagai individu yang dinamis, aktif mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan pengalamannya yang spesifik. Di samping itu, penilaian portofolio memandang bahwa penilaian merupakan bagian utuh dari belajar, sehingga pembelajaran dilaksanakan dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. Penilaian portofolio dapat memperlihatkan kemampuan siswa dalam memanfaatkan berbagai sumber belajar serta mengkreasikan pengertian mereka sendiri tentang sesuatu tema. Selain itu penilaian portofolio juga dapat membantu siswa dalam merefleksi diri, mengevaluasi diri, dan menentukan tujuanbelajarnya. Dengan demikian penilaian portofolio dapat menilai belajar siswa secara menyeluruh baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Banyak penelitian tentang portofolio memberikan bukti-bukti yang meyakinkan mengenai keefektifan dan keotentikan implementasi portofolio dalam pengajaran fisika pada tahun-tahun pertama. Rivard (dalam Santyasa, 2003) menyatakan bahwa penulisan tugas-tugas seperti membuat ringkasan, merumuskan penjelasan, dan menganalisis fenomena fisika dapat meningkatkan belajar siswa. Di samping itu, dia juga menyatakan bahwa dari 88% siswa yang ditugasi membuat rumusan penjelasan fenomena alam sehari-hari dalam suatu laporan tertulis dapat meningkatkan belajar fisika. Para siswa yang terklasifikasi pada tingkatan rata-rata dan di bawah rata-rata kelas menyatakan bahwa dengan menulis membuat mereka berpikir tentang apa yang mereka pelajari, ketimbang hanya menghafalkan materi untuk sebuah ujian. Para siswa yang menggunakan bahasa sehari-hari untuk menjelaskan konsep-konsep ilmiah pada suatu topik tertentu dapat meningkatkan minat mereka terhadap topik tersebut. Menggunakan portofolio juga dapat memperbaiki sikap para siswa dalam belajar fisika.
Salah satu model pembelajaran yang cocok untuk menerapkan penilaian portofolio adalah model pembelajaran inquari terbimbing. Model pembelajaran ini memberikan peluang yang sama dengan penilaian portofolio yaitu pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas kelas yang berpusat pada siswa dan memungkinkan siswa belajar memanfaatkan berbagai sumber belajar yang tidak hanya menjadikan guru sebagai satu¬satunya sumber belajar. Melalui model ini juga siswa secara aktif akan

terlibat dalam proses mentalnya melalui kegiatan pengamatan, pengukuran, dan pengumpulan data untuk menarik suatu kesimpulan. Dalam model pembelajaran Inquari terbimbing guru adalah fasilitator pembelajaran dan manajer lingkungan belajar. Terbimbing dalam penelitian ini diartikan bahwa perencanaan pembelajaran, penyusunan laporan, dan instrumen pencatatan data disediakan oleh guru. Hal ini dimaksudkan agar proses belajar mengajar berlangsung efektif dan efisien, sehingga akan dapat: 1) meningkatkan potensi intelektual siswa, 2) meningkatkan motivasi intrinsik siswa untuk belajar, 3) mengarahkan siswa ke arah pola berpikir induktif atau investigasi, dan 4) meningkatkan ketahanlamaan memori. Sedangkan ketika pembelajaran berlangsung, peran guru sebagai pembimbing yaitu memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya (fungsi guru adalah sebagai manajer lingkungan belajar). Jadi Inquari terbimbing merupakan salah satu model pembelajaran yang dirancang agar siswa terlibat aktif dalam pembelajaran melalui proses mentalnya sendiri dengan melakukan kegitan¬kegiatan yang berorientasi ilmiah (Syah, 1996). Keberhasilan implementasi model Inquari terbimbing telah banyak ditemukan. Sadia (1992) dalam penelitiannya terhadap siswa SMP Negeri di Bali menemukan bahwa kegiatan-kegiatan discovery-inquiry berpengaruh positif terhadap pembentukan dan perkembangan konsep diri dan sifat mandiri siswa. Dalam model pembelajaran Inquari terbimbing memungkinkan guru dapat menerapkan penilaian portofolio, karena fase-fase dalam pembelajaran Inquari terbimbing dapat digunakan sebagai alat dan bahan dari portofolio siswa.
Fokus permasalahan yang dicari jawabannya melalui penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut 1) Apakah implementasi penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika berbasis inquari terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak dan gaya? 2) Bagaimana respon siswa terhadap implementasi penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika berbasis inquari terbimbing?
Metode
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang melibatkan 41 siswa kelas VII F SMP N 2 Singaraja pada tahun ajaran 2007/2008. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus pembelajaran, yang tiap siklusnya terdiri dari empat tahapan, yaitu: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan evaluasi, dan (4) refleksi. Masing

masing siklus dilaksanakan dalam empat kali pembelajaran dan satu kali pelaksanaan tes akhir tindakan.
Data yang dikumpulkan adalah 1) data hasil belajar siswa yang meliputi kompetensi kognitif, komptensi afektif, dan kompetensi psikomotor, dikumpulkan dengan Lembar kerja siswa (LKS), laporan praktikum, kuis, pekerjaan rumah (PR), dan tes (ulangan harian) dan lembar observasi, dan 2) data respon mahasiswa terhadap model yang dimplementasikan dikumpulkan dengan angket dan pedoman wawancara. Data dianalisis secara deskriptif, dengan krieteria kerberhasilan terjadi peningkatan hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II. Data respon siswa dianalisis secara deskriptif dengan kriteria keberhasilan adalah respon mahasiswa minimal berkategori postif.
Hasil
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas VIIF SMP N 2 Singaraja dengan jumlah siswa sebanyak 41 orang. Materi pelajaran yang dipelajari siswa di kemas dalam dua siklus pembelajaran, dan tiap siklus dirinci menjadi empat kali pertemuan. Tiap pertemuan dilaksanakan satu kali dalam seminggu, dengan alokasi waktu 3 jam pelajaran tatap muka.
Di awal proses pembelajar, guru yang berkolaborasi dengan peneliti terlebih dahulu menyampaikan bahwa kegiatan pembelajaran di kelas pada pokok bahasan Gerak dan Gaya yang dilaksanakan dengan menggunakan penilaian portofolio melalui model pembelajaran inquari terbimbing. Guru menyampaikan tentang model penilaian yang akan dilaksanakan selama proses pembelajaran mencakup tiga aspek penilaian yang sesuai dengan tuntutan dalam kurikulum 2004, yaitu penilaian kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor dengan menggunakan penilaian portofolio. Guru selanjutnya menyampaikan gambaran umum tentang penilaian portofolio dan jenis tagihan yang akan dijadikan sebagai portofolio siswa. Tagihan yang akan dijadikan sebagai portofolio siswa untuk kompetensi kognitif, yaitu berupa laporan hasil mengerjakan LKS, pekerjaan rumah (PR), laporan hasil meringkas suatu topik atau konsep yang akan dipelajari siswa, laporan hasil kegiatan praktikum/percobaan, dan makalah. Tagihan untuk kompetensi afektif, yaitu berupa hasil observasi guru terhadap afektif siswa selama proses pembelajaran yang berkaitan dengan kerjasama siswa dalam kelompok, antusiasme siswa dalam bertanya, presentasi hasil diskusi kelompok, antusiasme siswa dalam menjawab pertanyaan. Tagihan untuk kompetensi psikomotor siswa yaitu berupa hasil observasi guru terhadap

psikomotor siswa yang berkaitan dengan penggunaan pengetahuan fisika, merangkai alat dan bahan percobaan, menggunakan alat dan bahan percobaan, dan komunikasi siswa. Untuk portofolio berupa makalah disusun secara berkelompok dengan mengambil topik atau judul terkait dengan aplikasi dari konsep Gerak dan Gaya.
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran inquiri terbimbing. Pada langkah pertama, pra-in quiri, dilakukan pemotivasian dan pengarahan siswa pada konsep yang akan didiskusikan dengan jalan mengajukan permasalahan yang terkait dengan konsep tersebut dan kehidupan sehari-hari. Pada langkah kedua, inquiri, siswa melakukan percobaan yang dituntun dengan LKS yang telah dibagikan di mana sebelumnya siswa bersama peneliti menetapkan hipotesis terkait dengan percobaan yang akan dilakukan. Pada langkah ketiga, pos-inquiri, siswa diberikan kesempatan untuk mendiskusikan hasil yang diperoleh dan permasalahan-permasalahan yang ditemukan selama melakukan praktikum dalam kelompoknya masing-masing, dan selanjutnya dilakukan diskusi kelas. Konsep-konsep yang dikaji dalam praktikum, siswa terapkan dalam situasi baru melalui permasalahan-permasalahan yang disajikan. Akhir dari langkah pos-inquiri ini yaitu siswa membuat kesimpulan terhadap hasil pengamatan yang telah mereka lakukan dan membuat pertanggungjawabannya dalam bentuk laporan praktikum. Laporan praktikum ini dikumpulkan pada pertemuan berikutnya sebelum pelajaran dimulai. Di samping itu, pekerjaan rumah (PR) juga merupakan salah satu portofolio siswa. Dalam PR tersebut siswa membuat permasalahan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dibahas.
Dalam setiap proses pembelajaran di masing-masing siklus, siswa belajar menggunakan media berupa lembar kerja siswa (LKS) yang difasilitasi oleh guru. LKS tersebut, dapat dijadikan sebagai penuntun siswa selama proses pembelajaran di kelas. Guru kemudian menyampaikan tentang model pembelajaran yang akan digunakan selama proses pembelajaran, yaitu model pembelajaran inquari terbimbing. Dengan menggunakan setting kelas kooperatif, guru selanjutnya membantu siswa untuk membentuk kelompok dengan batasan jumlah anggota minimal 4 orang dan maksimal 5 orang yang heterogen baik dari segi jenis kelamin dan kemampuan akademik. Dari jumlah siswa kelas VIIF sebanyak 41 orang, terbentuk 9 kelompok yang terdiri atas 4 kelompok beranggotakan 4 orang dan 5 kelompok beranggotakan 5 orang.
Data kompetensi kognitif siswa yang diperoleh dari hasil observasi dan evaluasi pada siklus I yang diperoleh dari data nilai rata-rata portofolio siswa yang mencakup LKS, PR, ringkasan, dan laporan praktikum pada tiap pertemuan dan makalah di akhir siklus, diperoleh nilai rata-rata kognitif
siswa (X) sebesar 74,3 dan standar deviasi (SD) sebesar 7,5. Berdasarkan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan maka kompetensi kognitif siswa kelas VIIF SMP N 2 Singaraja pada siklus I berada pada kategori baik .
Data kompetensi afektif siswa yang diperoleh dari hasil observasi dan
evaluasi siklus I memiliki rata-rata afektif siswa (X) sebesar 69,0 dan standar deviasi (SD) sebesar 10,4. berada pada kategori cukup baik sesuai dengan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan.
Data psikomotor siswa yang diperoleh dari hasil observasi dan
evaluasi pada siklus I memiliki rata-rata psikomotor siswa (X) sebesar 68,4 dan standar deviasi (SD) sebesar 8,0. Berdasarkan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan, kompetensi psikomotor siswa kelas VIIF SMP N 2 Singaraja pada siklus I berada pada kategori cukup baik.
Data kompetensi kognitif siswa yang diperoleh dari hasil observasi dan evaluasi pada siklus II yang diperoleh dari data nilai rata-rata portofolio siswa yang mencakup LKS, PR, ringkasan, dan laporan praktikum pada tiap pertemuan dan makalah di akhir siklus, diperoleh nilai rata-rata kognitif
siswa (X) sebesar 80,5 dan standar deviasi (SD) sebesar 6,7. Berdasarkan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan maka kompetensi kognitif siswa kelas VIIF SMP N 2 Singaraja pada siklus II berada pada kategori baik .
Data kompetensi afektif siswa yang diperoleh dari hasil observasi dan
evaluasi siklus II memiliki rata-rata afektif siswa (X) sebesar 81,0 dan standar deviasi (SD) sebesar 6,3. berada pada kategori baik sesuai dengan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan.
Data psikomotor siswa yang diperoleh dari hasil observasi dan
evaluasi pada siklus II memiliki rata-rata psikomotor siswa (X) sebesar 78,9 dan standar deviasi (SD) sebesar 7,4 Berdasarkan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan, kompetensi psikomotor siswa kelas VIIF SMP N 2 Singaraja pada siklus II berada pada kategori baik.
Data respon siswa kelas VIIF SMP N 2 Singaraja pada tahun ajaran 2007/2008 terhadap penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika melalui model inquari terbimbing yang dikumpulkan dengan menggunakan angket respon yang diberikan kepada siswa di akhir akhir siklus II menunjukkan bahwa hampir 80% siswa menunjuk respon yang
sangat positif. Hasil analisis data menunjukan skor rata-rata respon siswa sebesar 82,4. dan SD 5,1 berada pada kategori sangat positif berdasarkan kriteria penggolongan yang telah ditetapkan.
Pembahasan
Dari hasil analisis data pada siklus I diperoleh skor rata-rata kompetensi kognitif siswa di akhir tindakan sebesar 74,3 dengan kualifikasi baik, skor rata-rata kompetensi afektif siswa sebesar 69,0 dengan kualifikasi cukup baik, dan skor rata-rata kompetensi psikomotor siswa sebesar 68,4 dengan kualifikasi cukup baik. Belum tercapaianya hasil sesuai dengan harapan pada kompetensi afektif dan psikomotor siswa (dengan krieria keberhasilan minimal berkategori baik) yang diperoleh pada siklus I ini disebabkan oleh kendala kendala berikut. 1) Masih kurangnya kerjasama anggota kelompok. Siswa yang memiliki kemampuan lebih tinggi nampak antusias dalam mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan, baik melakukan praktikum maupun mencatat data. Sedangkan siswa yang berkemampuan rendah bersikap acuh tak acuh dan enggan bertanya kepada temannya yang lebih mampu. 2) Bebrapa keterampilan yang dikembangkan ternyata masih banyak yang belum dikuasai oleh siswa sehingga skor yang diperoleh siswa pada aspek psikomotor menjadi kecil. 3) Tersitanya waktu belajar hanya untuk memahami petunjuk kerja yang ada pada LKS. 4) Sebagian dari mereka masih beranggapan bahwa keaktifan mereka dalam setiap kegiatan pembelajaran tidak memperoleh penilaian. Anggapan ini juga menyebabkan mereka enggan untuk mengemukakan pertanyaan ketika mereka menemukan permasalahan.
Setelah diadakan penyempurnaan dan perbaikan terhadap kendala-kendala yang ditemukan pada siklus I, maka pada siklus II skor yang diperoleh siswa pada masing-masing aspek (kognitif, afektif, psikomotor) sudah lebih baik dibandingkan dengan skor yang diperoleh siswa pada siklus I. Pada siklus II terjadi peningkatan kognitif siswa sebesar 8,3% (dari skor rata-rata kognitif siswa sebesar 74,3 dengan kualifikasi baik pada siklus I menjadi sebesar 80,5 dengan tetap pada kualifikasi baik pada siklus II), afektif siswa sebesar 17,4% (dari skor rata-rata afektif siswa sebesar 69,0 dengan kualifikasi cukup baik pada siklus I menjadi sebesar 81,0 dengan kualifikasi baik pada siklus II), dan psikomotor siswa sebesar 15,4% (dari skor rata-rata psikomotor siswa sebesar 68,4 dengan kualifikasi cukup baik pada siklus I menjadi sebesar 78,9 dengan kualifikasi baik pada siklus II).

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada siklus I dan siklus II, maka pelaksanaan tindakan yang dilakukan dapat dikatakan cukup mampu meningkatkan aspek kognitif, aspek afektif, aspek psikomotor siswa kelas VIIF SMP Negeri 2 Singaraja tahun ajaran 2007/2008. Hal ini dapat terjadi karena penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran inquiri terbimbing memberikan peluang yang luas kepada siswa untuk berkreativitas dalam pembelajaran di kelas. Siswa memiliki kesempatan untuk mengembangkan sikap dan keterampilan mereka dalam pembelajaran, sehingga dengan penguasaan proses yang optimal dapat membantu siswa dalam membangun konsep fisika yang mereka pelajari. Keseimbangan antara proses dan produk merupakan dua sisi yang saling menunjang dalam belajar sains. Penilaian portofolio melalui model inquiri terbimbing juga memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk membangun pengetahuan dan pikiran siswa itu sendiri. Hal ini selaras dengan faham konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa, dalam hal ini siswa mencari makna dan akan mencoba untuk menemukan hubungan urutan di dalam kejadian-kejadian dari dunia informasi yang mereka peroleh. Hal penting dan sangat menunjang keberhasilan proses pembelajaran adalah perasaan senang untuk belajar dengan penilaian porofolio dalam pembelajaran inquiri terbimbing. Perasaan siswa terhadap model penilaian dan pembelajaran yang diterapkan tercermin dari respon yang diberikan oleh siswa. Siswa memiliki respon yang positif terhadap penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran inquiri terbimbing di kelasnya. Hal ini dilihat dari skor rata-rata yang diperoleh sebesar 82,4 termasuk dalam kategori sangat positif.
Dari paparan tersebut dan refleksi yang dilakukan, penilaian portofolio dalam pembelajaran inquiri terbimbing memiliki beberapa kebaikan. Adapun kebaikan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Pengajaran menjadi berpusat pada siswa . 2) Penilaian portofolio dapat menolong guru membukukan dan mengevaluasi kemampuan dan pengetahuan siswa sesuai dengan harapan tanpa mengurangi kreativitas siswa di kelas. Penilaian portofolio juga dapat memfasilitasi siswa untuk lebih bertanggungjawab terhadap pekerjaan mereka di kelas dan meningkatkan peranserta mereka dalam kegiatan pembelajaran. 3) Dengan penilaian portofolio, memungkinkan guru untuk melihat siswa. 4) Penilaian portofolio memungkinkan guru dan siswa secara bersama-sama bertanggungjawab untuk merancang proses pembelajaran dan untuk mengevaluasi kemajuan belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. 5) Melalui penilaian
portofolio melalui model pembelajaran inquiri terbimbing, kegiatan yang
dilakukan selama proses pembelajaran menjadi lebih terarah dan sistematis
sehingga guru lebih efektif dalam mengelola waktu dan penyampaian materi.
Di samping memiliki beberapa keunggulan, ada hal-hal tertentu yang kiranya perlu diperhatikan dalam menerapkan penilaian portofolio dalam pembelajaran inquiri terbimbing. 1) Guru hendaknya dapat memanajemen alokasi waktu yang tersedia dengan baik, karena penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran inquiri terbimbing memerlukan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan penggunaan penilaian konvensional. 2) Model penilaian dan pembelajaran ini akan lebih cocok diterapkan dalam mengajarkan fisika yang menuntut adanya kegiatan praktikum, dan dalam implementasinya di lapangan, model ini akan efektif jika siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil (4-5 orang).
Simpulan
Berdasarkan permasalahan dan hasil analisis data dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1) Penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika berbasis inquari terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa kels VIIF SMP N 2 Singaraja pada tahun ajaran 2007/2008 pada pokok bahasan gerak dan gaya. Terjadi peningkatan perolehan hasil belajar siswa sebesar 8,3% untuk kompetensi kognitif siswa (dari skor rata- rata sebesar 74,3 dengan kualifikasi baik pada siklus I menjadi sebesar 80,5 dengan kualifikasi baik pada siklus II), sebesar 17,4% untuk kompetensi afektif (dari skor rata-rata sebesar 69,0 dengan kualifikasi cukup baik pada siklus I menjadi sebesar 81,0 dengan kualifikasi baik pada siklus II), dan sebesar 15,4% untuk kompetensi psikomotor siswa (dari skor rata-rata sebesar 68,4 dengan kualifikasi cukup baik pada siklus I menjadi sebesar 78,9 dengan kualifikasi baik pada siklus II). 2) Respon siswa kelas VIIF SMP N 2 Singaraja pada tahun ajaran 2007/2008 terhadap penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika berbasis inquari terbimbing adalah sangat positif.
Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa saran-saran sebagai berikut. 1) Penerapan penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika berbasis inquari terbimbing dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model penilaian pembelajaran dalam upaya meningkatkan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor siswa. Untuk itu, kepada guru fisika pada umumnya, disarankan untuk mencoba menerapkan penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika berbasis berbasis
inquari terbimbing pada pokok bahasan lain. 2) Dalam menerapkan model penilaian portofolio dalam pembelajaran fisika berbasis inquari terbimbing guru hendaknya memperhatikan beberapa hal seperti menyiapkan diri sebagai fasilitator dan mediator yang baik bagi siswa dalam belajar di kelas maupun di luar kelas. Setiap tahapan dalam pembelajaran berbasis inquari terbimbing merupakan bahan portofolio baik itu terkait dengan observasi guru terhadap aktivitas siswa maupun karya-karya yang dihasilkan siswa ketika menjalani proses pembelajaran.
Daftar Rujukan
Amien, M. 1979. Apakah metode discovery inquiry? Yogyakarta: FKIP IKIP Yogyakarta.
Arikunto, S. 2001. Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Budimansyah, D. 2002. Model pembelajaran dan penilaian berbasis portofolio. Bandung: PT. Genesindo.
Gipayana, M. 2004. Pengajaran literasi dan penilaian portofolio dalam konteks pembelajaran menulis SD. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid II, No. 1, Februari 2004. 59-70.
Krulik. S., & Rudnick, J. A. 1995. The new sourcebook for teaching reasioning and problem solving in elementary school. Londo: Allyn and Bacon.
Pranata, M. 2004. Portofolio: Model penilaian desain berbasiskan konstruktivistik. Nirmana. No 1, Januari 2004: 63-81. http://puslit.petra.ac.id/journals/design/design06-01-04-
5baru.php
Rustaman, N. Y. 2004. “Penilaian berbasis kelas”. Makalah. Disajikan dalam seminar/ lokakarya di FPMIPA IKIP Negeri Singaraja. Program Pascasarjana & FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Singaraja 4 Desember 2004.
Sadia, I W. 1992. Pengaruh pola asuh orang tua dan pengajar dengan metode discovery-inquiry terhadap konsep diri dan sifat mandiri serta hubungan dengan prestasi belajar IPA siswa SMP Negeri di Propinsi Bali. Laporan Penelitian. FKIP Universitas Udayana.

Santyasa, I W. 2003. Pendidikan, pembelajaran, dan penilaian berbasis kompetensi. Makalah. Disajikan dalam seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja pada tanggal 27 Februarai 2003.
Santyasa, I W. 2004. Pengantar asesmen dan portofolio. Buku ajar. Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas MIPA, IKIP Negeri Singaraja.
Salam, S. 2001. “Penilaian portofolio dalam pendidikan seni rupa: Landasan dan model”. Jakarta: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang-Depdiknas.http://www.depdiknas.go.id/jurnal/29/penilaian_portf olio_dalam_pendid.htm
Surapranata, S., & Hatta, M. 2004. Penilaian portofolio. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syah, M. 1996. Psikologi pendidikan suatu pendekatan baru. Cetakan ketiga. Bandung: Remaja Rosdakarya.