Rabu, 17 September 2008

VARIABEL DAN HIPOTESIS DALAM PENELITIAN PENDIDIKAN IPA

Pertemuan 3
VARIABEL DAN HIPOTESIS

Tujuan
Setelah perkuliahan ini diharapkan dapat:
 Menjelaskan tentang pengertian variabel dan menyebutkan lima jenis variabel yang dapat dikaji oleh peneliti pendidikan
 Membedakan variabel kuantitatif dan variabel kategorial
 Menjelaskan hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas
 Menjelaskan pengertian hipotesis dan merumuskan dua hipotesis yang dapat dikaji dalam penelitian pendidikan
 Menjelaskan dua keuntungan dan dua kekurangan dari rumusan pertanyaan penelitian yang ditetapkan sebagai hipotesis
 Membedakan dan memberi contoh hipotesis langsung dan tak langsung.

Pentingnya mempelajari hubungan

Ciri terpenting pertanyaan penelitian adalah mencerminkan adanya hubungan yang akan diselidiki, meskipun tidak semua pertanyaan penelitian menunjukkan adanya hubungan. Kadang-kadang peneliti tertarik untuk mengkaji informasi deskriptif, menemukan tentang ”apa yang dirasakan” atau mendeskripsikan bagaimana ”tingkah laku seseorang dalam situasi tertentu”.
Misalnya:
 Perubahan apakah yang terjadi pada guru di sekolah dengan diimplementasikannya kurikulum baru?
 Bagaimanakah pendapat orang tua tentang program konseling di sekolah?
 Bagaimanakah cara guru melakukan pembelajaran berbasis kegiatan hands-on?
 Bagaimanakah aktivitas siswa bila guru melakukan pembelejaran teori yang terpadu dengan praktikum?
Contoh di atas tidak menunjukkan adanya hubungan, karena peneliti hanya ingin mengidentifikasi karakteristik, tingkah laku, perasaan atau pendapat. Biasanya digunakan untuk memperoleh informasi sebagai langkah awal untuk melakukan penelitian berikutnya. Masalah di atas merupakan pertanyaan penelitian yang sangat deskriptif, yang tidak memberikan gambaran tentang apa yang ada di balik ’pendapat’, ’perasaan’, ’tingkah laku’, dan ’kegiatan’. Penjelasannya sangat terbatas sehingga untuk menggali apa yang ada di balik semuanya itu diperlukan penelitian lebih lanjut.
Dalam suatu penelitian diharapkan kita menemukan jawaban yang bersifat komprehensif tentang situasi, fenomena, tingkah laku dan karakteristik lainnya. Dengan memperoleh jawaban diharapkan kita dapat belajar tentang alam sekitar kita. Kita belajar memahami dunia dengan belajar memberikan penjelasan tentang bagaimana masing-masing bagian berhubungan satu dengan yang lain. Berdasarkan penjelasan itulah kita mulai mendeteksi pola atau hubungan antara masing-masing bagian.
Oleh karena itu dalam merumuskan hipotesis sebaiknya kita memunculkan adanya hubungan, meski kadang-kadang perumusan hubungan seringkali tidak bermakna, sehingga penelitian menjadi dangkal. Misalnya, bila sampel sangat kecil, rumusan hipotesis dan metodologinya tidak tepat, maka dapat terjadi penarikan kesimpulan yang keliru.

A. VARIABEL
1. Apakah variabel itu?
 Variabel adalah peubah, yaitu konsep yang dapat berubah atau diubah; kata yang menjelaskan tentang variasi dalam suatu kelompok atau obyek, misalnya; kursi, gender, warna mata, hasil belajar, motivasi, kecepatan. Kadang-kadang juga menjelaskan tentang sekelompok orang yang menjadi obyek, gaya belajar, harapan hidup.
 Ada pula ciri yang bersifat konstanta yang tidak dapat berubah, misalnya bila kita melakukan penelitian di kelas tertentu. Individu dalam kelas ini tidak boleh diubah variasinya  sehingga merupakan sesuatu yang konstan, bukan variabel.
Contoh:
- Seorang peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh ’reinforcement’ terhadap pencapaian hasil belajar siswa.
Peneliti tersebut kemudian membagi secara sistematis kelompok besar kelas 9 menjadi 3 subkelompok (kelas kecil). Kemudian ia melatih 3 orang guru untuk memberikan ’reinforcement’ dengan 3 cara berbeda, yaitu dengan:
(1) pujian verbal
(2) hadiah imbalan uang
(3) nilai ekstra untuk setiap tugas yang berhasil dilakukan siswa.
 Maka: ’reinforcement’ merupakan suatu variabel (yang mengandung tiga variasi perlakuan); sedangkan kelas 9 merupakan sesuatu yang konstan.
Kadang-kadang ada konsep yang memerlukan penjelasan, misalnya konsep kursi, sebab ada berbagai jenis kursi yang disesuaikan dengan fungsinya: kursi makan, kursi tamu, kursi malas dsb. Penjelasan untuk ’kursi’ tanpaknya mudah.
Ada pula konsep yang tidak mudah untuk dijelaskan, misalnya ’moltivasi’ yang perlu disepakati artinya. Maka peneliti harus menjelaskan dengan baik agar variabel ’motivasi’ ini dapat diukur.
Ada berbagai jenis variabel yang dapat diselidiki; peneliti harus memilih, karena tidak mungkin ia meneliti semua jenis variabel. Variabel diharapkan memiliki hubungan dan jika hubungan ini dapat diungkap, maka pemahaman kita tentang fenomena yang diteliti akan lebih jelas dan bermakna.

2. Variabel kuantitatif dan kategorial

a.













b.











Variabel kuantitatif kadang-kadang menggambarkan variasi derajat atau tingkatan sebagai suatu kontinum dari yang rendah sampai tinggi misalnya badan, kecerdasan, motivasi. Melalui cara kuantitatif dapat diukur bahwa A lebih pendek dari B; Ali lebih cerdas daripada Didi; motivasai belajar di kelas A lebih tinggi daripada kelas B.
Variabel kuantitatif dapat pula dijelaskan melalui angka, dari 5-0, misalnya:
o 5 (amat sangat berminat),
o 4 (sangat berminat),
o 3 (berminat),
o 2 (cukup berminat),
o 1 (kurang berminat),
o 0 (tidak berminat).
Variabel kuantitatif dapat dibagi menjadi unit-unit yang lebih kecil yang lazim digunakan untuk mengukur. Untuk ukuran panjang misalnya dapat dibagi menjadi km, meter, sentimeter, milimeter, dll. Atau untuk bobot dibagi menjadi ton, kuintal, kg, gram, milligram, dll.

Variabel kategorial tidak menggambarkan variasi derajat atau jumlah, tetapi menekankan pada perbedaan kualitatif seperti warna mata, gender, agama, pekerjaan atau pada penelitian pendidikan sering kali menentukan ”perlakuan” atau ”metode”. Jika seorang peneliti hendak membandingkan dua kelas yang dikenai perlakuan berbeda misalnya berbantuan komputer dan tanpa komputer, maka kedua kelas ini harus memiliki kemampuan yang sama.

Berikut ini ini disajikan sejumlah variabel. Manakah yang termasuk variabel kuantitatif dan variabel kategorial?
1) Merek mobil yang dimiliki
2) Kemampuan belajar
3) Etnis
4) Keterpaduan
5) Denyut jantung
6) Gender


Banyak peneliti pendidikan yang mengkaji hubungan antara
1) Dua atu lebih variabel kuantitatif misalnya,
o Usia sekolah dan minat belajar
o Kemampuan membaca dan kemampuan fisika
o Lamanya waktu menonton tv dengan tingkah laku agrsif pada anak
2) Satu variabel kategorial dan satu variabel kuantitaif
o Metode mengajar yang digunakan dan hasil belajar yang dicapai
o Pendekatan konseling dan tingkat kecemasan
o Gender siswa dan pujian yang diberikan oleh guru
3) Dua variabel kategorial
o Etnis dan pekerjaan orang ayah
o Gender guru dan subyek yang diajarkan
o Agama dan keanggotaam partai politik

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ole peneliti:
1) Secara konseptual: variabel ’kecemasan” menunjukkan derajat kecemasan (tinggi, sedang, rendah) bukan suatu dikotomi ’ada’ atau ’tidak ada’ kecemasan.
2) Membagi variabel menjadi dua atau beberapa kategori akan menghilangkan informasi rinci tentang variabel bila perbedaan individu berdasarkan kategori diabaikan.
3) Garis perbedaan pada kelompok misalnya tingkat kecemasan yang dibagi menjadi ’tinggi’, ’sedang’, ’rendah’ dapat diubah sewaktu-waktu (tidak mutlak).

3. Variabel yang dimanipulasi vs variabel hasil
Dalam penelitian eksperimen, peneliti biasanya memberikan dua atau lebih perlakuan yang berbeda, sesuai dengan kondisi eksperimennya. Berarti ia menciptakan variabel.
Misalnya:
- Seorang peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh ‘reinforcement’ terhadap pencapaian hasil belajar siswa.
Untuk itu ia membagi kelas menjadi 3 kelompok dengan perlakuan reinforcement yang berbeda. Peneliti menentukan 3 macam reinforcement yang harus diberikan oleh guru kepada siswa bila siswa menjawab benar. Variabel perlakuan yang ‘diciptakan’ oleh peneliti ini disebut variabel eksperimental atau variabel yang dimanipulasi atau variabel perlakuan.

Secara umum
1 variabel kuantitatif

1 variabel kategorial



Variabel hasil merupakan variabel yang dapat diukur sebagai akibat dari adanya perlakuan; misalnya hasil belajar siswa, motivasi, minat.
Variabel hasil sangat bervariasi, tergantung pada individu atau kelompok yang dikenai perlakuan pada situasi dan kondisi yang berbeda.
Contoh variabel hasil:
o Rasa tidak nyaman yang dialami pelamar pekerjaan yang tercermin pada saat wawancara
o Kecemasan siswa sebelum ujian berlangsung
o Keterbukaan kelas
o Kemampuan mengungkapkan diri malalui tulisan
o Kelancaran berbahasa asing

4. Variabel bebas (independent) vs variabel tak bebas (dependent)
Hubungan antara variabel bebas dan veriabel tak bebas dapat dijelaskan sebagai berikut:






Variabel bebas diasumsikan sebaggai dugaan ‘penyebab’ sedangkan variabel bebas sebagai dugaan hasil.
Tidak semua variabel independent merupakan variabel yang dimanipulasi. Perhatikan judul berikut:
“Hubungan antara keberhasilan siswa dalam fisika dengan pilihan karirnya di masa dewasa”.

5. Variabel extraneous (variabel ekstra)
Masalah mendasar dalam penelitian adalah terkadang ada beberapa variabel bebas yang dapat berpengaruh terhadap variabel tak bebas. Tetapi bila peneliti sudah memutuskan variabel-variabel yang akan diteliti, maka ia juga harus memperhitungkan adanya variabel lain. Variabel ini disebut variabel ekstra. Peneliti perlu mengendalikan variabel ekstra ini, meniadakan atau meminimalkan pengaruhnya.
Variabel ekstra adalah variabel bebas yang belum dikendalikan.
Misalnya: variabel apakah yang dapat mempengarui pembelajaran siswa di kelas?
Ada banyak variabel yang berpengaruh dalam pembelajaran, seperti:
 Kepribadian guru,
 Tingkat kecerdasan siswa,
 Posisi jam mengajar,
 Buku ajar yang digunakan,
 Bentuk kegiatan pembelajaran,
 Metode mengajar
Salah satu cara mengendalikan variabel ekstra adalah menjaga agar tetap konstan. Misalnya bila peneliti hanya meneliti anak laki-laki, maka ia harus mengendalikan variabel gender: gender dari subyek penelitian ini tidak bervariasi.

B. HIPOTESIS
1. Apakah hipotesis itu?
Hipotesis, secara sederhana merupakan dugaan sementara yang diharapkan terjadi dalam penelitian. Kadang-kadang pertanyaan penelitian dinyatakan sebagai hipotesis, apa bedanya?
Pertanyaan penelitian: Apakah ada perbedaan minat siswa terhadap pelajaran IPA antara siswa yang diajar oleh guru yang sama gendernya dan guru yang berbeda gendernya?
Hipotesis: Siswa yang belajar IPA dari guru yang sama gendernya akan lebih tinggi minatnya dibandingkan dengan siswa yang belajar IPA dari guru yang berbeda gendernya.

Pertanyaan penelitian: Apakah ada perbedaan hasil belajar siswa antara kelas dengan model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran tradisional?
Hipotesis: hasil belajar siswa pada kelas dengan model pembelajaran inkuiri lebih tinggi daripada kelas dengan model pembelajaran tradisional.
Atau: Ada perbedaan hasil belajar antara siswa pada kelas yang dikenai model pembelajaran inkuiri dengan siswa yang dikenai model pembelajaran tradisional.

2. Keuntungan menentukan pertanyaan penelitian sebagai hipotesis
a. Hipotesis memfokuskan kita untuk berpikir lebih dalam tentang kemungkinan sebagai pengganti hipotesis membimbing peneliti ke arah pemahaman yang lebih luas tentang implikasi pertanyaan dan variabel yang terlibat. Dengan menentukan hipotesis, peneliti harus berpikir lebih hati-hati.
b. Menentukan pertanyaan penelitian sebagai pengganti hipotesis berkaitan dengan filsafat sains. Rasional yang mendasari filsafat sains: Jika ingin membangun suatu pengetahuan, selain menjawab pertanyaan penelitian maka perumusan hipotesis merupakan strategi yang baik yang memungkinkan seseorang dapat melakukan prediksi spesifik berdasarkan bukti sebelumnya atau argumen teoretis.
Contoh: Berdasarkan teori relativitas Einstein, banyak hipotesis yang dirumuskan sebagai hasil teori Einstein, yang kemudian diverifikasi melalui penelitian. Semakin banyak prediksi yang menjadi kenyataan berarti semakin memperkuatt gagasan awal teori relativitas Einstein.

3. Kelemahan menentukan pertanyaan penelitian sebagai hipotesis
a. Disadari atau tidak, merumuskan hipotesis dapat bersifat bias. Sebab sekali seorang peneliti merumuskan hipotesis, maka ia cenderung untuk menyusun prosedur atau memanipulasi data untuk memperoleh hasil yang diharapkannya. Peneliti diharapkan jujur secara intelektual meskipun ada kekeliruan. Tetapi komitmen terhadap hipotesis dapat menimbulkan distorsi secara tak disadari.
b. Kelemahan kedua, perhatian yang terfokus pada hipotesis, dapat menghalangi peneliti untuk memperhatikan fenomena yang penting dalam penelitiannya. Misalnya: seorang peneliti mengkaji “efek kelas yang humanistik terhadap motivasi siswa” dapat mengarahkan peneliti untuk lebih menggali karakteristik lain seperti jenis kelamin atau cara pengmabilan keputusan yang lebih mudah terlihat dan malah tidak terfokus pada motivasi siswa.
4. Hipotesis yang signifikan
Signifikan artinya “bermakna”. Untuk menilai signifikansi suatu hipotesis mari perhatikan contoh berikut:
Hipotesis 1
a. Siswa kelas dua lebih senang menonton tv daripada sekolah
b. Kesenangan siswa kelas dua terhadap sekolah lebih rendah daripada siswa kelas satu, tetapi lebih tinggi daripada siswa kelas tiga.
Hipotesis 2
a. Banyak siswa dengan kemampuan akademik rendah lebih menyukaki kelas regular daripada kelas khusus.
b. Siswa dengan kemampuan akademik rendah akan lebih bersikap negatif tentang dirinya bila ditempatkan di kelas khusus daripada di kelas regular.
Hipotesis 3
a. Guru yang menggunakan model pembelajaran kooperatif akan menghadapi reaksi siswa yang berbeda dibandingkan dengan guru yang menggunakan model pembelajaran tradisional.
b. Siswa yang mengalami pembelajaran koperatif akan lebih senang belajar dibandingkan dengan siswa yang mengalami model pembelajaran tradisional.

Dari 3 hipotesis di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis (b) lebih bermakna, karena hubungan yang akan dikaji jelas dan spesifik, mengarahkan peneliti untuk menggali informasi yang bermanfaat bagi peneliti lain yang berminat untuk meniliti lebih lanjut.

5. Hipotesis terarah vs hipotesis tak terarah
Hipotesis terarah adalah hipotesis yang memiliki arah spesifik (lebih tinggi, lebih rendah, tinggim kurang dsb) yang diharapkan muncul dalam penelitian. Arah khusus yang diharapkan ini akan menjadi dasar bagi landasan teori yang perlu dikaji, hasil penelitian serupa yang pernah dilakukan, dan pengalaman sebelumnya. Bagian (b) dari ketiga hipotesis di atas merupakan hipotesis terarah.
Kadang-kadang sulit bagi peneliti untuk menentukan hipotesis yang terarah. Jika peneliti menduga ada hubungan tetapi tidak memiliki dasar teori untuk memprediksi hubungan tersebut, maka ia tak dapat membuat hipotesis terarah. Bagian (a) dari ketiga hipotesis di atas merupakan hipotesis tak terarah. Hipotesis (a) dapat diubah menjadi hipotesis terarah bila pernyataannya diubah menjadi:
1a. Siswa kelas 1, 2, dan 3 memiliki perasaan yang berbeda terhadap sekolah
2a. Ada perbedaan sikap pada siswa yang memiliki kemampuan akademik rendah bila ditempatkan di kelas regular dan kelas khusus.
3a. Ada perbedaan kepuasan pada siswa yang mengalami pembelajaran kooperatif dan siswa yang mengalami pembelajaran tradisional.

Mari kita simpulkan
1. Apa yang dimaksud dengan variabel?
2. Apa yang dimaksud dengan konstanta?
3. Bagaimana kita membedakan variabel bebas dan tak bebas dalam penelitian?
4. Apa beda antara variabel kuantitatif dan variabel kategori?
5. Apa yang dimaksud dengan variabel ekstra?
6. Apa yang dimaksud dengan hipotesis?
7. Bagaimana kita dapat menentukan kebermaknaan suatu hipotesis?
8. Bagaimana kita membedakan hipotesis terarah dan tak terarah?

Sabtu, 13 September 2008

MASALAH PENELITIAN & ETIKA DALAM PENELITIAN

MASALAH PENELITIAN
Apa yang dimaksud dengan “masalah penelitian”?

Masalah penelitian adalah masalah yang layak untuk diteliti
Merupakan masalah yang menimbulkan ketidakpuasan, atau tidak sesuai dengan harapan
Sesuatu yang dirasa menyulitkan sehingga perlu diubah
Suatu proses yang tidak berjalan baik
Kondisi yang perlu ditingkatkan
Kesulitan yang harus diatasi
Pertanyaan yang memerlukan jawaban
PERTANYAAN PENELITIAN
Pada umumnya masalah penelitian merupakan pertanyaan yang
akan menjadi fokus penyelidikan dan menentukan metode yang akan
digunakan. Berikut ini adalah contoh pertanyaan penelitian yang
menentukan arah bagi metodologi yang akan digunakan;

Apakah pembelajaran yang berpusat pada siswa lebih mampu meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan pembelajaran tradisional? (penelitian eksperimental)
Pembelajaran seperti apakah yang umumnya terjadi setiap hari di sekolah dasar? (penelitian etnografi)
Apakah dalam buku sains SD terdapat miskonsepsi? (Analisis isi)
Bagaimana kita dapat memprediksi siswa manakah yang mengalami kesulitan belajar pada topik listrik? (penelitian korelasional)
Bagaimana sikap orang tua terhadap program konseling di sekolah? (penelitian survey)
Pertanyaan di atas seringkali muncul dalam tugas guru atau peneliti
berdasarkan observasi atau pengalamannya, dan pertanyaan ini
seringkali memerlukan penyelidikan yang lebih mendalam. Untuk itu
seorang peneliti perlu mengumpulkan sejumlah informasi untuk
menjawabnya.

Ada pula pertanyanyaan yang sulit dijaring informasinya, misalnya:
Apakah filsafat perlu dimasukkan dalam kurikulum sma?
Apa makna kehidupan?

Pertanyaan pertama, berkaitan dengan nilai: baik dan buruk; perlu dan
tidak perlu; Jadi, tidak dapat diamati. Namun pertanyaan pertama di
atas dapat menjadi pertanyaan penelitian bila kalimatnya diubah:
“Apakah masyarakat merasa perlu memasukkan filsafat dalam kurikulum SMA?”

Dengan pertanyaan di atas, kita dapat mengumpulkan data untuk
menjawab pertanyaan penelitian.
Pertanyaan kedua bersifat metafisika, di luar jangkauan pengalaman
kita dan bersifat transcendental. Pertanyaan ini memerlukan jawaban
yang bersifat akumulasi dari sejumlah informasi.

Karakteristik pertanyaan penelitian
Pertanyaan bersifat feasible; dapat diselidiki sesuai dengan tenggat waktu, energi dan dana yang terbatas.
Pertanyaan jelas: dapat dipahami oleh orang lain.
Pertanyaan bermakna untuk diteliti karena akan memberikan kontribusi penting secara keilmuan.
Pertanyaan hendaknya menyelidiki hubungan meskipun tidak selalu.

Baik kita bahas satu persatu!
1. Pertanyaan penelitian harus feasible
Pertanyaan penelitian yang feasible adalah pertanyaan yang dapat diteliti
melalui sumber-sumber yang ada. Pertanyaan tertentu misalnya tentang
“eksplorasi ruang angkasa”, atau “efek jangka panjang terhadap para astronot
yang mengikuti program penelitian ruang angkasa” jelas memerlukan dana
yang sangat besar dan waktu yang lama. Dalam bidang farmasi, kedokteran,
pertanian, dan militer, penelitian dilakukan oleh orang yang terlibat langsung
dalam kegiatan praktik. Namun dalam bidang pendidikan, masih penelitian
yang dilakukan oleh guru masih sangat kurang. Pada umumnya dilakukan oleh
orang di “luar” sekolah, seperti dosen dan mahasiswanya yang ditunjang oleh
waktu dan dana yang terbatas, sehingga mungkin saja fisibilitasnya tidak ada.

Contoh:
Bagaimana pendapat siswa tentang program pembelajaran berbasis komputer untuk topik tentang model-model atom? (feasible)
Bagaimana efeknya terhadap hasil belajar siswa, bila masing-masing siswa memiliki komputer pribadi untuk digunakan selama satu? (tidak terlalu feasible)

2. Pertanyaan penelitian harus jelas
Pertanyaan penelitian harus mencerminkan apa yang akan diteliti, atau
yang menjadi fokus penelitian.

Contoh:
a. Apakah pembelajaran berorientasi humanistik efektif?
Bagi sebagian orang kata yang digaris bawahi di atas mungkin jelas, tetapi orang lain mungkin tidak memahami apa yang dimaksud dengan “pembelajaran berorientasi humanistik” tersebut. Apa karakteristiknya? Bagaimana strategi pembelajarannya? Bagaimana kegiatan pembelajarannya? Apa kegiatan siswa dan kegiatan guru? Media apa yang digunakan?
Bagaimana perasaan guru terhadap kelas khusus bagia anak cacat?
“Guru” dalam pertanyaan di atas perlu diklarifikasi: guru kelas berapa? Mengajar apa? Siswa usia berapa yang dilibatkan? Pengalaman belajar apa yang diberikan?
“Perasaan guru” juga ambiguous. Apakah berarti pendapat guru? Reaksi emosional guru? Atau tentang kegiatan guru?
“Kelas khusus” dan “anak cacat” juga perlu diklarifikasi.
Dalam konsep pendidikan saat ini banyak istilah yang perlu dijelaskan,
misalnya: kurikulum inti, kegiatan pembelajaran, pengelolaan yang
efektif, pendekatan konstruktivisme, dll.

Oleh karena itu perlu ada penjelasan istilah, yang dapat dilakukan
melalui:
Pendekatan kamus: ada banyak keterbatasan; kurang dianjurkan
Definisi istilah melalui contoh.
Mendefinisikan istilah secara operasional, bagaimana kegiatan dilakukan, bagaimana data dijaring, termasuk variabel bebas atau variabel tak bebas.
Definisi operasional sangat membantu dalam menjelaskan istilah.

Penjelasan istilah sangat penting bagi peneliti untuk menentukan arah
bagi teknik pengumpulan dan analisis data.
3. Pertanyaan penelitian harus bermakna
Maksudnya berharga untuk diteliti dan memiliki kontribusi secara
keilmuan karena suatu penelitian memerlukan energi, waktu,
materi, dana, dan sumber-sumber lain yang perlu dihargai maka
hasilnyapun perlu dihargai sebagai karya penelitian.

Untuk itu peneliti perlu bertanya tentang: Apa manfaat hasilnya?
Apakah mempunyai implikasi untuk meningkatkan praktis
pembelajaran? Apakah untuk menentukan arah kebijakan? Apakah
untuk perencanaan program?

Ada 2 kelemahan proposal yaitu (1) terlalu banyak asumsi (2) terlalu
membesar-besarkan implikasi penelitiannya.
4. Pertanyaan bersifat etis
Rumusan pertanyaan hendaknya tidak menyinggung
perasaan pihak lain, baik secara langsung maupun tak
langsung. Kalimat sopan dan tertata dengan baik.

Tambahan: untuk penelitian korelasional atau
kausal komparatif, petanyaan penelitian
hendaknya mencerminkan hubungan yang akan
dikaji. Untuk penelitian lain kadang-kadang juga
memerlukan pertanyaan yang mencerminkan hubungan.
KESIMPULAN
Masalah penelitian sebaiknya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
Pertanyaan penelitian hendaknya dapat memberi arah bagi proses penelitian
Pertanyaan penelitian yang baik memiliki 4 ciri: feasible, jelas, bermakna, dan etis; kadang-kadang perlu mencerminkan adanya hubungan
Ada 3 cara menjelaskan istilah: definisi kamus, definisi melalui contoh, dan definisi operasional
Definisi operasional menggambarkan tentang bagaimana suatu istilah diukur atau diidentifikasi

ETIKA DALAM PENELITIAN
Etika berkaitan dengan “benar” atau “salah” dalam melaksanakan
penelitian. Seorang peneliti perlu memperhitungkan apakah
penelitiannya layak atau tak layak untuk dilakukan. Pada dasarnya
semua peneliti berharap agar hasil penelitiannya tidak menyinggung
perasaan subyek yang ditelitinya.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti dalam
Melakukan penelitiannya:
Dalam merencanakan penelitian, peneliti bertanggung jawab untuk melakukan evaluasi terhadap kemungkinan penerimaan setempat. Mencari informasi tentang adat kebiasaan, cara menyapa, bertanya atau melindungi partisipan
Mempertimbangkan apakah subyek partisipan adalah orang yang beresiko atau kurang beresiko karena mengenal peneliti.
Peneliti juga bertanggung jawab terhadap perlakuan etis dari para kolaborator, asisten, mahasiswa, atau siapapun yang terlibat dalam penelitian pada saat berlangsungnya penelitian
Perlu ada perjanjian yang jelas dan jujur antara peneliti dengan partisipan penelitian. Penghargaan atau komitmen lainnya.
Metodologi: sebelum melakukan studi, peneliti mempunyai tanggung jawab khusus untuk (i) menentukan teknik yang diperkuat oleh nilai keilmuan, pendidikan dan nilai setempat (ii) menentukan prosedur alternatif (iii) mencari cara agar partisipan dapat memberikan penjelasan yang diperlukan..
Peneliti menghargai kebebasan individual untuk bertindak sebagai partisipan atau mengundurkan diri
Setelah data terkumpul, peneliti hendaknya memberi informasi kepada partisipan tentang hakikat penelitiannya untuk menghindari miskonsepsi.

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN MULTIMEDIA INTERAKTIF (MMI) OPTIKA GEOMETRI UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DAN MEMPERBAIKI SIKAP BELAJAR SISWA

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN MULTIMEDIA

INTERAKTIF (MMI) OPTIKA GEOMETRI UNTUK

MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DAN

MEMPERBAIKI SIKAP BELAJAR SISWA


Achmad Samsudin1), Aloysius Rusli2), dan Andi Suhandi3)

1) Prodi Pendidikan Fisika Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,

2) Departemen Fisika ITB Bandung,

3) Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung

achmadsamsudin@yahoo.com

arusli@fi.itb.ac.id

andisuhandi@upi.edu


Abstract

To enhance concept mastery and to improve the learning attitude, a multimedia based intructional model of geometrical optics is applied. This research is quasi-experimental with subjects in one of the junior high schools in Kudus, Central Java. Research data were collected by using a concept mastery pretest and posttest, and a questionnaire. Data analysis was conducted by using t-test and normalized gain scores. Results of this research show that: The instruction model using interactive multimedia is usefull, effective to enhance the physics concept mastery and to improve the learning attitude of students.


Keywords: instruction model, interactive multimedia, geometrical optics, concept mastery, learning attitude.



1. Pendahuluan

Mutu pendidikan, khususnya pendidikan sains di Indonesia masih rendah. Hasil studi The Third International Mathemathics and Science Study tahun 2003 melaporkan bahwa kemampuan sains siswa SMP (eighth-grade student) Indonesia hanya berada pada peringkat ke-37 dari 46 negara (TIMMS, 2004). Rendahnya mutu pendidikan di tingkat nasional, ternyata tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Kudus. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata hasil ujian sekolah di Kabupaten Kudus yang hanya mencapai nilai 5,84 dari skala ideal 10. Rendahnya mutu pendidikan sains di SMP tercermin dengan rendahnya penguasaan konsep siswa. Selain penguasaan konsep siswa yang rendah, sikap belajar siswa pada aspek motivasi maupun aktivitas siswa dalam pembelajaran di kelas juga kurang baik (buruk).

Rendahnya penguasaan konsep dan buruknya sikap belajar siswa disebabkan oleh pembelajaran konvensional yang masih mengedepankan metode ceramah, tanpa memperhatikan aktivitas belajar yang berpusat dari siswanya (student centered). Pembelajaran konvensional yang berlangsung cenderung berjalan satu arah dari guru ke siswa (teacher centered), menyebabkan pembelajaran terkesan hanya menransfer pengetahuan dari guru ke siswa saja. Pembelajaran fisika yang berpusat dari guru ini berjalan kurang efektif dalam mengembangkan ranah kognitif (penguasaan konsep) dan ranah afektif (sikap belajar) siswa, sehingga penguasaan konsep dan sikap belajar siswa di kelas masih rendah.

Pembelajaran konvensional yang menghasilkan penguasaan konsep dan sikap belajar siswa yang rendah, perlu diperbaiki dengan cara menerapkan model, pendekatan, dan strategi pembelajaran yang menggunakan bantuan media. Salah satu alternatif penggunaan media dalam pembelajaran yang dapat diterapkan di kelas adalah media komputer dan internet. Media komputer dan internet cukup bagus untuk digunakan dalam pembelajaran yang banyak mengandung konsep-konsep, prinsip, prosedur, dan sikap siswa (Arsyad, 2002); sehingga penguasaan konsep siswa dapat lebih meningkat dan sikap belajar siswa dapat menjadi lebih baik.

Media komputer dan internet ini dapat dimanfaatkan dalam bentuk suatu model pembelajaran yang berbasis multimedia interaktif. Model pembelajaran ini selanjutnya dapat disebut dengan model pembelajaran Multimedia Interaktif (MMI). Model pembelajaran MMI ini dapat digunakan untuk semua materi atau konsep dalam fisika secara umum. Penggunaan model pembelajaran MMI di kelas dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa dan memperbaiki sikap belajar siswa.

Model pembelajaran MMI dapat digunakan untuk meningkatkan penguasaan konsep siswa secara umum, yaitu konsep-konsep yang bersifat konkret. Selain bagus digunakan dalam pembelajaran yang mengandung konsep-konsep yang bersifat konkret, model pembelajaran MMI ini juga sangat baik digunakan dalam konsep-konsep yang bersifat abstrak bagi siswa. Pada prinsipnya model pembelajaran MMI dapat menampilkan berbagai animasi dan simulasi dari beberapa konsep yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna (Lee, Nicoll, dan Brooks, 2005). Optika Geometri merupakan salah satu konsep fisika yang mengandung banyak konsep-konsep yang bersifat abstrak, sehingga sesuai dengan penggunaan model pembelajaran MMI.

Dalam artikel ini dipaparkan hasil studi eksperimen tentang penggunaan model pembelajaran Multimedia Interkatif (MMI) dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika dan memperbaiki sikap belajar siswa. Studi eksperimen dilakukan di salah satu SMP di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah dengan mengambil materi bahasan Optika Geometri. Sebagai pembanding hasil digunakan model pembelajaran konvensional.



2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Desain penelitian digunakan adalah The Randommized Control-Group Pretest-Posttest Control Group Design (Fraenkel, 1993). Dengan menggunakan desain ini, terlebih dahulu dipilih secara acak dua kelas, satu kelas untuk kelompok eksperimen dan satu kelas untuk kelompok kontrol. Selanjutnya kedua kelompok siswa ini diberi tes awal untuk mengetahui kemampuan awal mereka tentang materi yang akan dipelajari. Setelah itu kedua kelompok diberi perlakuan, kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa pembelajaran dengan model MMI, sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan berupa pembelajaran dengan model konvensional, yaitu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan dimana dalam proses pembelajaran berpusat pada guru dengan metode pembelajaran utama yang digunakan adalah ceramah dan tanya jawab.

Subyek penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII salah satu SMP di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah, dengan jumlah sampel 77 orang siswa yang terbagi dalam dua kelompok yaitu 39 siswa kelompok eksperimen dan 38 siswa kelompok kontrol. Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan instrumen penelitian berupa tes konseptual Optika Geometri dalam bentuk tes objektif dan angket sikap belajar siswa.

Keunggulan penggunaan model dalam meningkatkan penguasaan konsep ditinjau berdasarkan perbandingan nilai gain yang dinormalisasi (N-gain), antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Gain yang dinormalisasi (N-gain) dapat dihitung dengan persamaan: (Hake, 1999)

... 1)

Disini dijelaskan bahwa g adalah gain yang dinormalisasi (N-gain) dari kedua pendekatan, Smaks adalah skor maksimum (ideal) dari tes awal dan tes akhir, Spost adalah skor tes akhir, sedangkan Spre adalah skor tes awal. Tinggi rendahnya gain yang dinormalisasi (N-gain) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) jika g 0,7, maka N-gain yang dihasilkan dalam kategori tinggi, (2) jika 0,7 > g 0,3, maka N-gain yang dihasilkan dalam kategori sedang, dan (3) jika g <>N-gain yang dihasilkan dalam kategori rendah.

Sikap belajar siswa diperoleh dengan cara mengumpulkan data dari angket yang dibagikan kepada siswa setelah pembelajaran dengan menggunakan model MMI selesai dilakukan. Angket yang diberikan kepada siswa, kemudian dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan kaidah skala Liekert dengan rentang skala 1 sampai dengan 3. Artinya, sikap siswa cenderung lebih baik dari sebelum menggunakan model pembelajaran MMI dinyatakan dengan skala 3. Siswa yang merasa sikapnya masih sama saja atau tidak terdapat perubahan setelah menggunakan model pembelajaran MMI dinyatakan dengan skala 2. Siswa yang merasa sikapnya cenderung menurun atau lebih buruk dari sebelum menggunakan model pembelajaran MMI dinyatakan dengan skala 1. Jika rata-rata skor sikap belajar siswa di atas 2, maka dapat diartikan siswa merasakan adanya perbaikan sikap belajar. Sedangkan, jika rata-rata skor sikap belajar siswa di bawah 2, maka dapat diartikan siswa merasakan adanya penurunan sikap belajar.



3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Gambar 1 menunjukkan rekapitulasi rata-rata skor hasil tes penguasaan konsep Optika Geometri untuk kelompok kontrol dan kelompok eksprimen. Rata-rata skor tes awal siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol relatif tidak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kelompok kontrol dan eksperimen memiliki tingkat penguasaan konsep awal Optika Geometri yang hampir sama. Skor rata-rata N-gain kelompok eksperimen sebesar 42,1 %, termasuk kategori sedang. Sedangkan skor rata-rata N-gain kelompok kontrol sebesar 31,1 %, juga termasuk kategori sedang. Dari pengujian signifikansi perbedaan dua rata-rata, didapat bahwa secara signifikans skor rata-rata N-gain kelompok eksperimen lebih tinggi dari skor rata-rata N-gain kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran MMI dapat lebih meningkatkan penguasaan konsep Optika Geometri siswa dibanding penggunaan model pembelajaran konvensional.

Gambar 1. Perbandingan Skor Rerata Tes Awal, Tes Akhir, dan N-gain Penguasaan Konsep untuk Kedua Kelompok


Skor rata-rata penguasaan konsep siswa pada setiap sub konsep Optika Geometri dapat dilihat pada Gambar 2. Data-data pada gambar tersebut menunjukkan bahwa rata-rata penguasaan konsep siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk setiap sub konsep mengalami peningkatan. Peningkatan penguasaan konsep untuk kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan penguasaan konsep untuk kelompok kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa model pembelajaran MMI ini lebih cocok digunakan untuk meningkatkan penguasaan konsep Optika Geometri dibanding model pembelajaran konvensional.


Keterangan:

  1. Cahaya

  2. Pemantulan pada cermin lengkung

  3. Pembiasan pada lensa tipis


Gambar 2. Perbandingan Tes Awal, Tes Akhir, dan N-gain Setiap Sub Konsep antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol


Peningkatan penguasaan konsep kelompok eksperimen yang paling tinggi terjadi pada sub konsep cahaya (46,8 %) dan yang terendah terjadi pada sub konsep pemantulan pada cermin lengkung (38,7 %). Peningkatan penguasaan konsep kelompok kontrol yang paling tinggi juga terjadi pada sub konsep cahaya (34,7 %) dan yang terendah terjadi pada sub konsep pembiasan pada lensa tipis (29,3 %).

Sub konsep cahaya mengalami peningkatan penguasaan konsep yang paling tinggi untuk kedua kelompok. Hal ini sesuai dengan hasil temuan bahwa soal-soal yang diterapkan dalam sub konsep cahaya termasuk kategori mudah dan sedang saja, sehingga siswa tidak banyak mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal konsep ini dan N-gain yang diperoleh paling besar dibandingkan yang lain. Sub konsep cahaya dalam model pembelajaran MMI juga mengandung gambar-gambar fenomena alamiah secara mendetail dibandingkan sub konsep yang lain, sehingga tanggapan siswa merasa terbantu dengan tampilan gambar fenomena ini. Implikasinya penguasaan konsep siswa untuk sub konsep cahaya mengalami peningkatan yang paling besar dibandingkan dengan yang lainnya. Pemantulan pada cermin lengkung mengalami peningkatan penguasaan konsep yang paling rendah, untuk kelompok eksperimen yaitu 38,7 %. Hal ini terjadi karena soal-soal pada konsep cermin lengkung (cekung dan cembung) banyak terdapat soal-soal yang mengandalkan pemahaman konsep yang mendalam. Soal-soal pada konsep cermin lengkung tidak hanya soal penerapan rumus saja (C3), melainkan pada aspek analisis (C4), dan evaluasi (C5) dalam Taksonomi Bloom yang direvisi.

Gambar 3 menunjukkan bahwa sikap siswa rata-rata mengalami perbaikan dalam setiap indikator setelah melakukan pembelajaran dengan model MMI. Perbaikan sikap belajar siswa yang paling tinggi terjadi pada indikator menyelesaikan soal-soal yang ada menunjukkan sikap keaktifan siswa dan berusaha memperhatikan pelajaran di kelas menunjukkan sikap perhatian (2,7), sedangkan yang terendah terjadi pada indikator semangat dalam memahami materi menunjukkan motivasi (2,5). Pada semua indikator cenderung lebih memperbaiki sikap belajar siswa dari sebelumnya.

Perbaikan sikap belajar siswa terjadi untuk semua indikator. Hal ini sesuai dengan hasil temuan bahwa siswa merasa termotivasi dan senang setelah menggunakan model pembelajaran MMI, sehingga sikap mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. Jadi dapat disimpulkan, selain meningkatkan penguasaan konsep, model pembelajaran MMI juga dapat memperbaiki sikap belajar siswa. Temuan ini sesuai dengan yang diungkapkan Sudarman (2007); Sutinah (2006); Jamaludin (2007) bahwa pembelajaran dengan model MMI dalam pemanfaatan software dan internet dapat meningkatkan aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude) siswa.

Keterangan:

  1. Menyelesaikan soal-soal yang ada (keaktifan siswa)

  2. Berusaha memahami teori yang diajarkan (memahami sendiri)

  3. Ketertarikan dengan materi fisika (pengulangan konsep)

  4. Semangat dalam memahami materi (motivasi)

  5. Berusaha memperhatikan pelajaran di kelas (perhatian)


Garis putus-putus (- - -) menunjukkan bahwa batas dimana sikap belajar siswa setelah menggunakan model pembelajaran MMI masih sama saja dibanding dengan sebelum pembelajaran (model pembelajaran konvensional)


Gambar 3. Respons Siswa tentang Sikap Belajar untuk Setiap Indikator


Kesimpulan

Dari hasil pengolahan dan analisis data dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran Multimedia Interaktif (MMI) secara signifikan dapat lebih meningkatkan penguasaan konsep Optika Geometri dibanding model pembelajaran konvensional. Selain itu, penggunaan model pembelajaran MMI Optika Geometri juga dapat memperbaiki sikap belajar siswa.

Daftar Pustaka


Arsyad, A. (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara

Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education (second ed.). New York: McGraw-Hill Book Co.

Hake, R. R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia: http://lists.asu.edu/cgi-bin/wa?A2=ind9903&L=aera-d&P=R6855 [22 April 2008]

Jamaludin, A. (2007). Internet Menuju Sekolah: Jardiknas. [Online]. Tersedia: ade_smkams@yahoo.co.id [12 Desember 2007]

Lee, Nicoll, dan Brooks. (2002). A Comparison of Inquiry and Worked Example Web-Based Instruction Using Physlets. Dalam Computers & Education [Online], Vol 10 (5), 7 halaman. Tersedia: www.elsevier.com/locate/compedu [12 Maret 2007]

Sudarman. (2007). ”Problem Based Learning: Suatu Model Pembelajaran untuk Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah”. Jurnal Pendidikan Inovatif. 2, (2), 68-73.

Sutinah, A. (2006). Pembelajaran Interaktif Berbasis Multimedia di Sekolah Dasar. [Online]. Tersedia: www.google.com/pembelajaran/ interaktif/sutinah [12 Desember 2007]


TIMMS. (2004). Highlihts from The Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMSS). Washington, D.C: National Center for Statistics (NCES), Institute of Education Sciences, U.S. Departement of Education.