Kamis, 15 Januari 2009

PEMBELAJARAN INOVATIF BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING

PEMBELAJARAN INOVATIF BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING
Sri Untari
(http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/12/pembelajaran-inovatif-berbasis-deep-dialoguecritical-thinking/#comment-7570)

APA ITU PEMBELAJARAN BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING (DD/CT?

Secara sederhana, dialog adalah percakapan antara orang-orang dan melalui dialog tersebut, dua masyarakat/kelompok atau lebih yang memiliki pandangan berbeda-beda bertukar ide, informasi dan pengalaman. Deep dialogue (dialog mendalam), dapat diartikan bahwa percakapan antara orang-orang tadi (dialog) harus diwujudkan dalam hubungan yang interpersonal, saling keterbukaan, jujur dan mengandalkan kebaikan (GDI, 2001). Sedangkan ciritical thinking (berpikir kritis) adalah kegiatan berpikir yang dilakukan dengan mengoperasikan potensi intelektual untuk menganalisis, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan secara tepat dan melaksanakannya secara benar.
Beberapa prinsip yang harus dikembangkan dalam deep dialogue/critical thinking, antara lain adalah: adanya komunikasi dua arah dan prinsip saling memberi yang terbaik, menjalin hubungan kesederajatan dan keberadaban serta empatisitas yang tinggi.
Dengan demikian, deep dialogue/critical thinking mengandung nilai-nilai demokrasi dan etis sehingga keduanya seharusnya dimiliki oleh manusia. Nilai-nilai demokrasi dan etis yang dijadikan orientasi dalam DD/CT, mempunyai kaitan erat dengan tujuan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia (PKn), terutama dalam pembentukan warga negara yang baik, demokratis, cerdas dan religious.
Sebagai pendekatan pembelajaran, pada dasarnya Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT) bukanlah sebuah pendekatan yang baru sama sekali, akan tetapi telah diadaptasikan dari berbagai metode yang telah ada sebelumnya (GDI, 2001). Oleh karena itu, Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT) bisa menggunakan semua metode pembelajaran yang telah digunakan sebelumnya seperti Multiple Intelligences, Belajar Aktif, Keterampilan Proses ataupun Parthnership Learning Method, sebagaimana yang dikembangkan oleh Eisler. Dengan demikian, filosofi DD/CT melakukan penajaman-penajaman terhadap seluruh metode pembelajaran yang telah ada, baik yang bersifat konvensional maupun yang bersifat inovatif.
Fokus kajian pendekatan DD/CT dalam pembelajaran dikonsentrasikan dalam mendapatkan pengetahuan dan pengalaman, melalui dialog secara mendalam dan berpikir kritis, tidak saja menekankan keaktifan peserta didik pada aspek fisik, akan tetapi juga aspek intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual. Peserta didik yang telah belajar di kelas yang menggunakan pendekatan DD/CT, diharapkan akan memiliki perkembangan koqnisi dan psikososial yang lebih baik. Mereka juga diharapkan dapat mengembangkan ketrampilan hidup tentang DD/CT yang akan meningkatkan pemahaman terhadap dirinya dan terhadap orang lain yang berbeda dari diri mereka, dan oleh karena itu akan memperkuat penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan.
Untuk keperluan pendekatan pembelajaraan, Global Dialogue Institute (2001) mengindetifikasi ciri-ciri pembelajaran yang menggunakan DD/CT, yaitu: (1) peserta didik dan dosen nampak aktif; (2) mengoptimalisasikan potensi intelligensi peserta didik; (3) berfokus pada mental, emosional dan spiritual; (4) menggunakan pendekatan dialog mendalam dan berpikir kritis; (5) peserta didik dan dosen dapat menjadi pendengar, pembicara, dan pemikir yang baik; (6) dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari; (7) lebih menekankan pada nilai, sikap dan kepribadian.

MENGAPA MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING?

Proses belajar-mengajar adalah proses dialog. Sebagai proses dialog, praktik pembelajaran memerlukan prasyarat kesiapan fisik dan mental pelaku penyampai pesan dan penerima pesan pembelajaran
Pembelajaran berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT) mengakses paham konstruktivis dengan menekankan adanya dialog mendalam dan berpikir kritis. Elemen-elemen dalam menerapkan konstruktivisme meliputi: (1) menghidupkan pengetahuan artinya pengetahuan sebelumnya harus dijadikan pertimbangan dalam membelajarkan materi baru; (2) memperoleh pengetahuan dalam arti perolehan tambahan pengetahuan harus dilakukan secara menyeluruh , bukan berupa paket-peket kecil. Hal ini dapat dianalogkan belajar berenang, peserta didik harus mempraktekkannya, setelah paham akan proses berenang, dosen dapat membelajarakan secara individual tentang berbagai gerakan dan gaya berenang; (3) memahami pengetahuan ini berarti peserta didik harus menggali, menemukan dan menguji semua pengetahuan baru yang diperoleh. Mereka perlu mendiskusikan dengan dosennya dengan teman, saling membelajarkan, saling mengkritik, serta membantu lainnya memperbaiki susunan perolehan pengetahuan yang dibelajarkan; (4) menggunakan pengetahuan artinya peserta didik memperoleh kesempatan memperluasan wawasan, menyaring pengetahuan dengan menggunakan berbagai cara dalam bentuk pemecahan masalah; (5) Refleksi pengetahaun yang diperoleh
Dengan deep dialogue/critical thinking, seseorang diharapkan mampu di samping mengenali diri sendiri juga mengenal diri orang lain. Selain itu, dengan dialog mendalam/berpikir kritis, orang akan belajar mengenal dunia lain di luar dunia dirinya dan selanjutnya mampu menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Hal ini membuka kemungkinan-kemungkinan untuk memahami makna yang fundamental dari kehidupan secara individual dan kelompok dengan berbagai dimensinya. Dengan demikian, pada skala yang lebih luas, dialog lebih mengandalkam ‘cara berpikir baru’ untuk memahami dunia.
Melalui deep dialogue/critical thinking, orang juga akan mampu mengikuti dunia lain dan secara perlahan-lahan mengintegrasikannya dalam kehidupan dirinya. Kapasitas dialog dan berpikir dalam DD/CT, pada dasarnya mendudukkan jabatan seseorang pada posisi yang sejajar, penuh kebijaksanaan dan terbuka satu sama lain. Dengan kegiatan beripikir kritis, orang dapat melakukan pemikiran yang jernih dan kritis, membagi rasa, saling mengasihi sehingga perbedaan pendapat dan pandangan yang ada dapat dipecahkan dan dicerahkan dengan dialog terbuka.
Dalam pandangan teori belajar humanistik, belajar menekankan pada isi dan proses yang berorientasi pada peserta didik sebagai subyek belajar (Rianto 2000). Teori ini bertujuan untuk memanusiakan manusia agar mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan. Teoris humanistik Kolb (dalam Irawan, 1996), membagi belajar ke dalam empat tahap, yaitu: (1) tahap pengalaman konkret; yaitu perserta didik dalam belajarnya hanya sekedar ikut mengalami suatu peristiwa; (2) tahap pengamatan kreatif dan reflektif, yaitu secara lambat laun peserta didik mampu mengdakan pengamatan secara aktif terhadap suatu peristiwa dan mulai memikirkan untuk memahaminya; (3) tahap konseptualisasi, yaitu peserta didik mampu membuat abstraksi dan generalisasi berdasarkan contoh-contoh peristiwa yang diamati; dan (4) tahap eksperimentasi aktif, peserta didik mampu menerapkan suatu aturan umum pada situasi baru.
Beberapa prinsip yang harus dikembangkan dalam deep dialogue/critical thinking, antara lain adalah: adanya prinsip komunikasi multi arah, prinsip pengenalan diri untuk mengenal dunia orang lain, prinsip saling memberi yang terbaik, menjalin hubungan kesederajatan, prinsip saling memberadabkan (civilizing) dan memberdayakan (empowering), prinsip keterbukaan dan kejujuran serta prinsip empatisitas yang tinggi (Al-Hakim, 2002).
Dengan deep dialogue/critical thinking, seseorang di samping mampu mengenali diri sendiri juga mengenal diri orang lain. Selain itu, dengan dialog mendalam/berpikir kritis, orang akan belajar mengenal dunia lain di luar dunia dirinya dan selanjutnya mampu menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Hal ini membuka kemungkinan-kemungkinan untuk memahami makna yang fundamental dari kehidupan secara individual dan kelompok dengan berbagai dimensinya. Dengan demikian, pada skala yang lebih luas, dialog mendalam dan berpikir kritis lebih mengandalkam ‘cara berpikir baru’ (new way of thinking) untuk memahami dunia (Swidler, 2000)..
Sebagai suatu inovasi pembelajaran DD/CT, diharapkan mampu memberdayakan dosen dan peserta didik dalam proses pembelajaran, sehingga kualitas pembelajaran dan hasi belajar dapat terus ditingkatkan. Menurut M. Rogers (1995), memerinci adanya lima aspek inovasi yang dapat diterima oleh adopter, adalah sebagai berikut 1) Relative advantage atau keuntungan relatif, adalah tindakan dimana suatu ide baru dianggap lebih baik dari pada ide-ide yang ada sebelumnya;
(2) Compatibility, adalah sejauh mana suatu inovasi pendidikan dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima inovasi; (3) Complexity, adalah tingkat dimana suatu inovasi pendidikan dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan diterapkan oleh pelaksana pendidikan. Inovasi-inovasi tertentu begitu mudah dipahami oleh beberapa guru, sedangkan guru lainnya tidak. Kerumitan inovasi pendidikan berhubungan negatif dengan kecepatan adopsinya;(4) Trialibility, adalah suatu tingkat dimana sebuah inovasi dapat dicobakan dalam skala kecil. Ide baru yang dapat dicoba biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tak dapat dicoba lebih dulu;(5) Observability, adalah tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Hasil-hasil inovasi tertentu mudah diamati dan dikomunikasikan kepada orang lain, sedangkan beberapa lainnya tidak. Observabilitas suatu inovasi pendidikan berhubungan positif dengan kecepatan adopsinya
Deep dialogue/critical thinking memuat kelima aspek tersebut diatas, selanjutnya dengan DD/CT orang juga akan mampu mengikuti dunia lain dan secara perlahan-lahan mengintegrasikannya dalam kehidupan dirinya. Kapasitas dialog dan berpikir dalam DD/CT, pada dasarnya mendudukkan seseorang pada posisi yang sejajar, penuh kebijaksanaan dan terbuka satu sama lain. Dengan kegiatan beripikir kritis, orang dapat melakukan pemikiran yang jernih dan kritis, membagi rasa, saling mengasihi sehingga perbedaan pendapat dan pandangan yang ada dapat dipecahkan dan dicerahkan dengan dialog terbuka.
Pembelajaran berbasis Deep dialogue/critical thinking memiliki berbagai kelebihan sebagai berikut :
1. Deep dialogue/critical thinking dapat digunakan melatih peserta didik untuk mampu berpikir kritis dan imajinatif, menggunakan logika, menganalisis fakta-fakta dan melahirkan imajinatif atas ide-ide lokal dan tradisional. Sehingga peserta didik dapat membedakan mana yang disebut berpikir baik dan tidak baik, mana yang benar dan tidak benar. Dialog mendalam dan berfikir kritis bertujuan untuk mendapatkan pemahaman paling lengkap. Melalui dialog mendalam dan berpikir kritis peserta didik memahami bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya. Berpikir kritis membantu peserta didik menemukenali sekaligus menguji sikap mereka sendiri, serta menghargai nilai-nilai yang dipelajari;
2. Deep dialogue/critical thinking merupakan pendekatan yang dapat dikolaborasikan dengan berbagai metode yang telah ada dan dipergunakan oleh dosen selama ini;
3. Deep dialogue/critical thinking merupakan dua sisi mata uang, dan merupakan hal yang inhernt dalam kehidupan peserta didik, oleh karena itu dalam kegiatan pembelajaran berbasis DD/CT selalu berkaitan dengan kehidupan nyata sehingga memudahkan peserta didik mengerti dan memahami manfaat dari isi pembelajaran;
4. Deep dialogue/critical thinking menekankan pada nilai, sikap, kepribadian, mental, emosional dan spiritual sehingga peserta didik belajar dengan menyenangkan dan bergairah;
5. Melalui pembelajaran berbasis deep dialogue/critical thinking, baik dosen maupun peserta didik akan dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman, karena dengan dialog mendalam dan berpikir kritis mampu memasuki ranah intelektual, fisikal, sosial, mental dan emosional seseorang;
6. Hubungan antara dosen dan peserta didik akan terbina secara dialogis kritis, sebab pembelajaran berbasis DD/CT membiasakan dosen dan peserta didik untuk saling membelajarkan, dan belajar hidup dalam keberagaman.
Dalam tataran praksis, kajian deep dialogue/critical thinking sebagai paradigma pengembangan pendidikan berlaku prinsip Unity in policy and deversity in implementation. Justru kenyataan ini sebagai kelebihan lain dari penerapan deep dialogue/critical thinking, sekaligus sejalan dengan pembelajaran yang sedang dikembangakan di perdosenan tinggi yakni Student Centered Learning (SCL) yakni pembelajaran yang berpusat pada aktivitas belajar peserta didik, bukan semata aktivitas dosen mengajar. Ciri SCL (Dirjen Dikti, 2005) sebagai berikut: (a) peserta didik belajar baik secara individual maupun berkelompok untuk membangun pengetahuan dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan teknologi yang dibutuhkannya secara aktif dari pada sekedat menjadi penerima pengetahuan yang pasif; (2) Dosen lebih berperan sebagai FEE (facilitating, empowering, enabling) dan guides on the sides daripada sebagai mentor in the center yaitu membantu peserta didik untuk menemukan solusi terhadap permasalahan nyata sehari-hari, dari pada sekedar sebagai gatekeeper of information; (c) Peserta didik tidak sekedar kompeten di bidang ilmunya, namun juga kompeten dalam belajar artinya peserta didik tidak hanya menguasai isi mata kuliahnya tetapi mereka juga belajar tentang bagaimana belajar (learn how to learn). Melalui discovery, inquiry, problem solving, klarifikasi nilai dan terjadi pengembangan; (d) belajar menjadi kegiatan komunitas yang difasilitasi oleh dosen yang mampu mengelola pembelajarannya menjadi berorientasi pada peserta didik; (e) belajar lebih dimaknai sebagai belajar sepanjang hayat (learning throughout of life) suatu ketrampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja; (f) belajar termasuk memanfaatkan teknologi yang tersedia, baik berfungsi sebagai informasi pembelajaran maupun sebagai alat untuk memberdayakan peserta didik dalam mencapai keterampilan utuh (intelektual, emosional dan psikomotor) yang dibutuhkan.
Agar deep dialogue/critical thinking dapat diimplementasikan dalam pembelajaran dan kehidupan sehari-hari, perlu diperhatikan kaidah-kaidah DD/CT sebagai berikut:
Pertama, keterbukaan, langkah awal untuk melakukan dialog mendalam dan berpikir kritis individu harus membuka diri terhadap mitra dialog, karena sifat terbuka dalam diri akan membuka peluang untuk belajar, mengubah dan mengembangkan persepsi. Pemahaman realitas dan bertindak secara tepat merupakan hasil berpikir kritis. Dengan demikian ketika masuk dalam dialog, kita dapat belajar, berubah dan berkembang dalam rangka meningkatkan berpikir kritis. Dialog sebagai suatu kegiatan memiliki dua sisi yakni dalam masyarakat (intern) dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya (antar). Hal ini dilakukan mengingat bahwa dialog pada hakekatnya bertujuan untuk saling berbicara, belajar dan mengubah diri masing-masing pihak yang berdialog, sehingga perubahan yang terjadi pada masing-masing pihak merupakan hasil berpikir kritisnya sendiri (self-critical thinking).
Kedua, kejujuran, bersikap jujur dan penuh kepercayaan diperlukan dalam deep dialogue/critical thinking, sebab dialog hanya akan bermanfaat manakala pihak-pihak yang melakukan bersikap jujur dan tulus.Artinya masing-masing mengemukakan tujuan, harapan, kesulitan dan cara mengatasinya melalui berpikir kritis secara apa adanya, serta saling percaya diantara mereka. Dengan demikian kejujuran merupakan prasyarat terjadinya dialog atau dengan kata lain tidak ada kepercayaan berarti tidak ada dialog.
Ketiga, kerjasama. Untuk menanamkan kepercayaan pribadi, langkah awal adalah mencari kesamaan dengan cara bekerjasama dengan orang lain, selanjutnya memilih pokok-pokok permasalahan yang memungkinkan memberi satu dasar berpijak yang sama. Selanjutnya melangkah pada permasalahan umum yang dapat dihadapi bersama atau mencari solusinya. Hal ini penting karena kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama atau dengan bekerjasama akan menghasilkan pemecahan yang menguntungkan pihak-pihak yang bermasalah (win-win solution).
Keempat, menunjung nilai-nilai moral, deep dialogue/critical thinking terjadi manakala masing-masing pihak yang berdialog menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etis atau santun, saling menghargai, demokratis yakni dengan memperlakukan mitra dialog sedemikian rupa sehingga berketetapan hati untuk berdialog. Artinya kita paling mengetahui apa yang kita ketahui, dan mitra dialog kita paling mengerti apa yang mereka ketahui. Di samping itu masing-masing saling mempelajari, untuk memperluas wawasan bersama, untuk memperdalam, mengubah dan memodifikasi pemahaman mereka.
Kelima, saling mengakui keunggulan, deep dialogue/critical thinking akan terjadi manakala masing-masing pihak menghadirkan hati. Dalam berdialog harus menghadirkan hati dan tidak hanya fisik. Dengan menghadirkan hati, masing-masing pihak yang berdialog dapat memberi respon kepada mitra dialog secara baik, dan menghindarkan menjadi penceramah, pengkotbah atau yang mendominasi proses dialog, seolah kita yang memiliki kelebihan daripada mitra dialog kita. Oleh karenanya saling mengakui keunggulan masing-masing akan diperoleh pemahaman bersama secara baik
Keenam, membangun empati. Jangan menilai sebelum meneliti, merupakan ungkapan yang tepat dalam membangun deep dialogue/critical thinking. Kita jauhkan prasangka, bandingkan secara adil dalam berdialog sedapat mungkin kita tidak menduga-duga tentang hal yang disetujui dan hal yang akan ditentang. Membangun empati dalam dialog mendalam pihak-pihak yang berdialog dapat menyetujui dengan tetap menjaga integritas diri mitra dialog, masyarakat dan tradisinya.
DD/CT dapat meningkatkan interaksi multi arah , yakni interaksi antar peserta didik dan antara peserta didik-dosen. Kondisi ini sesuai dengan prinsip dasar pendekatan DD/CT yang memiliki garapan dalam pembelajaran bahwa peserta didik mendapatkan pengetahuan dan pengalaman melalui dialog mendalam dan bepikir kritis. Oleh karenanya salah satu ciri pembelajaran DD/CT adalah dosen dan peserta didik dapat menjadi pendengar, pembicara dan peneliti, pemikir yang baik .Interaksi antara dosen-peserta didik antara lain dapat menciptakan pembelajaran yang produktif, ketika menggali informasi untuk menemukan konsep, juga ketiga mengecek pemahaman peserta didik, mengetahui sejauhmana keingintahuan peserta didik (misalnya dengan merahasiakan gambar, membuat permainan untuk membangun komunitas). Dalam diskusi kelompok dan presentasi unjuk kerja, kegiatan bertanya dan menjawab telah mendorong interaksi antara peserta didik dengan peserta didik, antara peserta didik dengan dosen, antara dosen dengan peserta didik. Bahkan kalau mungkin antara peserta didik dengan narasumber yang bukan berasal dari kampus, misalnya pakar hukum, tokoh partai dan pelaku sejarah dan museum dan sebagainya. Interaksi yang terjadi telah secara intensif terjadi ketika mereka berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika mengalami kesulitandan sebagainya. Pentingnya interaksi dalam pembelajaran dengan pendekatan DD/CT bahwa interaksi dalam proses pembelajaran sebagai sesuatu yang lebih luas dari sekedar percakapan , bertanya (Questioning), atau menjawab (answering) antara dua orang atau lebih atau antar kelompok. Interaksi berarti memposisikan masing-masing individu pada posisi yang sama, sehingga secara bersamaan dapat mentransformasikan diri, membuka diri untuk menemukenali pikiran-pikiran yang berbeda. Oleh karena pembelajaran yang mampu meningkatkan interaksi, akan membawa peningkatan berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking).

BAGAIMANA MENGEMBANGKAN PEMBELAJARAN BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING?

Pengembangan pembelajaran berbasis DD/CT yang diimplementasikan dalam proses belajar mengajar dijalankan secara tahap demi tahap sebagaimana proses belajar mengajar pada umumnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Sudjana (1997) yakni :

1. Tahap pra instruksional
Tahap pra instruksional merupakan tahap awal yang ditempuh pada saat memulai proses pembelajaran, antara lain melalui kegiatan:
• Memberi kesempatan peserta didik untuk bertanya mengenai bahan pelajaran yang belum dikuasai dari pelajaran yang sudah dibelajarkan
• Mengajukan pertanyaan pada peserta didik mengenai bahan yang telah dibelajarkan
• Mengulang secara singkat semua aspek yang telah dibelajarkan
2. Tahap instruksional
Tahap instruksional merupakan tahap pemberian atau pelaksanaan kegiatan pembelajaran yakni:
• Materi, tugas dan contoh-contoh
• Penggunaan alat Bantu untuk memperjelas perolehan belajar
• Serta menyimpulkan hasil pembelajaran
3. Tahap evelauasi
Tahap evaluasi dan tindak lanjut adalah tahap yang diperlukan untuk mengatahui keberhasilan tahap instruksional.

Model Pembelajaran dengan Pendekatan Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT) merupakan model pembelajaran yang membantu dosen untuk menjadikan pembelajaran bermakna bagi mahapeserta didik. Dalam pendekatan ini pembelajaran sedapat mungkin mengurangi pengajaran yang terpusat pada dosen (teacher centered) dan sebanyak mungkin pengajaran yang terpusat pada mahapeserta didik (Student centered), namun demikian dosen harus tetap memantau dan mengarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dengan landasan filosofi konstruktivisme, DD/CT “dicita-citakan” menjadi sebuah pendekatan pembelajaran alternatif, dimana melalui DD/CT diharapkan mahapeserta didik belajar melalui “mengalami, merasakan, medialogkan” bukan hanya “menghafalkan”.Hal ini sesuai dengan pandangan Gross ( 2000) bahwa dengan mengalami sendiri, merasakan, mendialogkan dengan orang lain, maka pengetahuan dan pemahaman peserta didik akan sesuatu yang baru akan mengendap dalam pikiran peserta didik dalam jangka panjang yang pada akhirnya dapat dipergunakan untuk bekal peserta didik dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya, dan mengembangkan kecakapan hidupnya (life skills).

Perencanaan Pembelajaran Berbasis DD/CT
Penyusunan rancangan pembelajaran berbasis DD/CT dilakukan melalui empat tahapan utama yaitu:

1. mengembangankan komunitas (community building)
2. analisis isi (content analysis)
3. analisis latar cultural (cultural setting analysis)
4. pengorganisasian materi (content organizing)
Pertama, membangun komunitas belajar. Tahap ini merupakan bagian refleksi diri dosen terhadap dunia peserta didiknya. Pandangan dunia dosen tentang kemampuan yang dimiliki oleh peserta didiknya menjadi bagian yang berguna dalam menyusun rancangan pembelajarannya yang bernuansa dialog mendalam dan berpikir kritis. Kegiatan refleksi ini meliputi identifikasi pengalaman dosen dan pengalaman peserta didiknya, kelas belajar, dan sebagainya
Kedua, analisis isi. Proses untuk melakukan identifikasi, seleksi dan penetapan materi pembelajaran. Proses ini dapat ditempuh dengan berpedoman atau mengunakan rambu-rambu materi yang terdapat dalam kurikulum/diskripsi matakuliah, yang antara lain standar minimal, urutan (sequence) dalam keluasan (scope) materi, kompetensi dasar yang dimiliki, serta keterampilan yang dikembangkan. Di samping itu, dalam menganalisis materi dosen hendaknya juga menggunakan pendekatan nilai moral, yang subtansinya meliputi pengenalan moral, pembiasaan moral dan pelakonan moral (Dekdiknas, 2000).
Ketiga, analisis latar yang dikembangkan dari latar kultural dan siklus kehidupan (life cycle). Dalam analisis ini mengandung dua konsep, yaitu konsep wilayah atau lingkungan (lokal, regional, nasional dan global) dan konsep manusia berserta aktifitasnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan (ipoleksosbudhankam). Selain itu, analisis latar juga mempertimbangkan nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang serta dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat serta kemungkinan kebermanfaatannya bagi kehidupan peserta didik. Dalam kaitan itu, analissi latar berhubungan erat dengan prinsip yang harus dikembangkan dalam mengajarkan nilai dan moral, yaitu prinsip dari mudah ke yang sukar, dari yang sederhana menjadi kompleks, dari konkrit ke abstrak, dari lingkungan sempit/dekat ke lingkungan yang meluas (Dekdiknas, 2000).
Keempat, pengorganisasian materi. Dengan pendekatan DD/CT dilakukan dengan memperhatikan prinsip “4 W dan 1 H”, yaitu What(apa), Why(mengapa), When(kapan), Where(dimana) dan How(bagaimana). Dalam rancangan pembelajaran , keempat prinsip ini, harus diwarnai oleh ciri-ciri pembelajaran dengan Deep Dialogue dalam menuju pelakonan (experience) nilai-nilai moral dan Critical Thinking dalam upaya pencapaian/pemahaman konsep (concept attaintment) dan pengembanagn konsep (concept development). Kesemuanya dilakukan dengan memberdayakan metode pembalajaran yang memungkinkan peserta didik untuk ber-DD/CT
Lima komponen atau tahap yang terdapat dalam model pembelajaran dengan pendekatan DD/CT yakni hening, membangun komunitas, kegiatan inti dengan strategi penemuan konsep (Concept Attainment) dan Cooperative Learning , refleksi dan evaluasi
Demikian juga kegiatan penemuan konsep dan cooperative learning, telah dapat menciptakan kebersamaan, dan dialog mendalam tentang segala hal baru yang diterima mahapeserta didik, kegiatan ini juga merangsang daya kritis mahapeserta didik dalam menangkap permasalahan, mencari solusi permasalahan dengan caranya sendiri dan bantuan orang lain, dan mengambil keputusan yang tepat dan bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Kegiatan refleksi juga merupakan sesuatu yang dapat dipandang keunggulan pendekatan DD/CT, karena dapat sebagai sarana saling introspeksi baik dosen mapun mahapeserta didik, juga ungkapan bebas dari pandangan, usul terbaiknya demi kebaikan bersama. Refleksi memiliki fungsi mendidik pada mahapeserta didik untuk menyukai belajar dari pengalaman yang telah dilaluinya. Ini sejalan dengan pendapat Gross (2000) bahwa dengan refleksi terjadi proses penajaman pengalaman yang peroleh dan mereproduksi ketika menyampaikan secara lesan.
Idealnya penilaian hasil belajar harus dapat dilakukan dengan banyak cara, meskipun di lapangan masih ditemukan banyak kesulitan untuk melaksanakannya terutama untuk penilaian dimensi nilai-nilai kewarganegaraan (civics Volues). Ini menjadi tatantangan bagi pengembang pembelajaran dengan DD/CT untuk mengembangkan model penilaian yang dapat membantu dosen lebih obyektif memberi penilaian hasil belajar peserta didiknya.
Rambu rambu penerapan pembelajaran DD/CT adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan awal
Dalam setiap mengawali pembelajaran dimulai dengan salam, tujuan pembelajaran, kompetensi yang akan dicapai, kemudian menggunakan elemen dinamika kelompok untuk membangun komunitas, yang bertujuan mempersiapkan peserta didik berkonsentrasi sebelum mengikuti pembelajaran. Aktivitas pembelajaran pada tahap ini dilalui sebagai berikut:
• Membuka pelajaran, dalam membuka pelajaran dosen selalu mengajak atau memerintahkan peserta didik untuk berdoa atau hening menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Tujuan dari berdoa atau hening adalah memusatkan fisik dan mental, mempersiapkan segenap hati, perasaan dan pikiran peserta didik agar dapat mengikuti pembelajaran dengan mudah. Model pembelajaran dengan DD/CT memiliki beberapa keunggulan seperti pembelajaran diawali dan diakhiri dengan “hening”. Hal ini selain dapat menciptakan situasi tenang sebelum pembelajaran, selain itu juga dapat menghadirkan hati dan pikiran peserta didik-dosen pada pembelajaran saat itu. Sebagaimana dikemukakan oleh Swidler (2000) yang menekankan pentingnya hening dalam segala aktifitas, karena menurutnya dengan hening seseorang telah menjalin interaksi intern yakni dengan dirinya maupun ekstern yakni dengan Tuhan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa hening membawa manusia pada pengendapan hati dan pikiran, sehingga memudahkan proses dialog mendalam. Berdasarkan teori kontinum, bahwa dialog juga terjadi secara kontinum, Proses pertama dinamakan Dialog distruktif manakala elemen-elemennya adalah polarisasi yang dipertentangkan satu sama lain. Proses kedua, dinamakan dialog disintegrasi manakala elemen-elemennya adalah tolerasi antara satu dengan lainnya, Proses ketiga dinamakan dialog dialogis manakala elemen-elemennya ada saling belajar antara satu dengan lain. Proses terakhir dialog mendalam manakal elemen-elemennya adalah saling tranformasi. Dengan demikian hening atau doa dapat menciptakan situasi menunju Deep dialogue. Kebiasaan selalu berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan termasuk kegiatan belajar mengajar, secara langsung telah membimbing dan mengajarkan mahapeserta didik menjadi insan religius, sehingga akan mendukung upaya pendidikan anak seutuhnya (PAS) yang pada gilirannya akan sangat mendukung upaya mewujudkan manusia Indonesia Seutuhnya (MIS)
• Dinamika kelompok dalam rangka membangun komunitas dapat dilakukan dengan membaca puisi, menyanyi, peragaan, bermain peran, simulasi atau senam otak/brain gym yang relevan dengan materi pokok yang dibelajarkan. Kegiatan membangun komunitas juga merupakan sesuatu yang sangat penting bagi masyarakat majemuk oleh karena itu apabila dalam pembelajaran telah dibangun keterikatan terhadap komunitas kecil (kelas), maka pada skala makro sikap dan perilaku toleransi, menghargai perbedaan, terbuka terhadap kritik, berani tampil beda, dan sikap terpuji lainnya akan dapat mengantarkan mahapeserta didik menjadi warga negara demokratis.Disini peserta didik dituntut untuk berpikir kritis melalui analisis terhadap lagu, gambar, peristiwa dan sebagainya. Kegiatan seperti ini mampu mengaktifkan intelegensi ganda (multiple intellegences) yang dimiliki peserta didik. Aktivitas yang melibatkan unsure dan prinsip dinamika kelompok secara tak langsung bertujuan membangkitkan perasaan gembira, senang penuh gairah sehingga peserta didik termotivasi. Menurut Widarti (2002) tujuan utama dari aktifitas tersebut adalah mewujudkan impian dosen dalam melaksanakan prinsip” bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”.

2. Kegiatan Inti
Kegiatan ini sebagai pengembangan dan pengorganisasian materi pembelajaran. Adapun tahap yang dilalui sebagai berikut:
• Tahap pertama dosen melaksanakan kegiatan dengan menggali informasi dengan memperbanyak brain storming dan diskusi dengan melemparkan pertanyaan komplek untuk menciptakan kondisi dialog mendalam dan berpikir kritis. Pada tahap ini peserta didik dilatih sekaligus diberikan pengalaman melalui proses usaha menemukan informasi, konsep atau pengertian yang diperlukan dengan mengoptimalkan dialog mendalam dan berpikir kritis antar sesama. Setiap perbedaan pendapat, pandangan dan pemikiran merupakan hal yang patut dikomunikasikan dengan tetap menghormati eksistensi masing-masing yang sedang berdialog, sehingga dalam diri peserta didik tertanam rasa menerima dan menghomati perbedaan, tolerensi, empati, terbuka. Dalam kegiatan ini konsep dan definisi tidak diberikan oleh dosen, tetapi digali oleh peserta didik melalui teknik concept attainment atau CA yakni proses kegiatan membangun ketercapain sebuah konsep sampai pada pengertian atau definisi. Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) memotivasi dan menumbuhkan kesadaran bahwa antara dosen-peserta didik sama-sama belajar. Dosen hanyalah salah satu sumber, peserta didik dan sumber –sumber lain ada disamping dosen; (2) memberi bukti pada peserta didik bahwa kemampuan menyusun definisi atau pengertian dari konsep yang bermutu dapat dilakukan oleh peserta didik, tidak kalah bermutunya dengan yang diberikan dosen, bahkan yang ada dalam buku referensi; (3) memberi pengalaman belajar menuju ketuntatasan belajar bermakna, bukan ketuntasan materi saja.
Selanjutnya dilaksanakan cooperative learning untuk memecahkan permasalahan yang diberikan dosen. Penetapan cooperative learning dapat dengan teknik pelaporan ataupun Jigsaw dan STAD (Student Teams Achievement Division).
• Tahap kedua, merupakan tahap umpan balik yang selalu dilaksanakan dosen, setelah peserta didik diberi waktu untuk berdialog mendalam , semua temuan dan hasil belajar yang diperoleh selama diskusi dalam situasi cooperative learning. Tahap ini apapun perolehan belajar peserta didik merupakan upaya maksimal mereka, oleh sebab itu dosen harus mengakui dan memberi penghargaan. Selanjutnya dilakukan klarifikasi atau penajaman atas temuan peserta didik terarah pada kompetensi dan materi pokok yang dosen belajarkan. Umpan balik dosen dimaksudkan sebagai penegasan fungsi dialog mendalam yang bermuara pada peleksanaan evaluasi pemahaman peserta didik. Tahap ini sekaligus sebagai bukti bahwa dosen/dosen bukan sumber yang “tahu segalanya”, namun antar peserta didik dan pendidiknya terjadi saling belajar dan saling membelajarkan, sehingga terkesan “simbiosis mutualism”
3. Kegiatan akhir
Tahap ini merupakan tahap pengambilan simpulan dari semua yang saling dibelajarkan, sekaligus penghargaan atas segala aktivitas peserta didik . Tahap ini dilakukan penilaian hasil belajar dan pemajangan dan penyimpanan dalam file (bahan portofolio) peserta didik.
Tahap berikutnya adalah refleksi Kegiatan ini merupakan kegiatan pembelajaran yang penting dalam pendekatan DD/CT. Kegiatan ini bukan menyimpulkan materi pembelajaran, tetapi pendapat peserta didik tentang apasaja yang dirasakan dan dialami yang dikaitkan dengan apa saja yang dirasakan, dialami dan dilakukan di masa lalu. Peserta didik menyampaikan secara bebas perasaan dan keinginan yang terkait dengan pembelajaran. Pembelajaran diakhiri dengan hening atau doa.
Tabel Sintaks Pembelajaran berbasis DD/CT
Tahap 1
Hening Dosen mengajak berdoa, menyampaikan tujuan pembelajaran,kompetensi yang akan dicapai
Tahap 2
Membangun komunitas Dosen mengajak meminta peserta didik membaca puisi, menyanyi, peragaan, bermain peran, simulasi atau senam otak/brain gym yang relevan dengan materi pokok yang dibelajarkan.
Tahap 3
kegiatan inti dengan strategi penemuan konsep (Concept Attainment) dan Cooperative Learning Dosen mengajukan pertanyaan komplek dan provokatif untuk mendorong peserta didik menemukan konsep yang akan dibelajarkan, membuat definisi (melalui strategi peneluan konsep/concept attainment), selanjutkan mendorong peserta didik untuk menetapkan, mengidentifikasi, menganalisis, memecahkan masalah, mempresentasikan hasil kerja kelompoknya melalui strategi cooperative learning
Tahap 4
Refleksi Dosen memberi kesempatan pada peserta didik untuk menyampaikan sikapnya, perasaannya, pengalaman selama mengikuti pembelajaran dan harapannya untuk meningkatkan pembelajaran di masa yang akan datang
Tahap 5
Evaluasi
Dosen melakukan evaluasi baik proses maupun hasil belajar peserta didiknya.
(Diadopsi dari GDI:2000)

Melalui tahap-tahap tersebut , diharapkan peserta didik dapat menemukan konsep, memecahkan permasalahan melalui dialog mendalam dan berpikir kritis dengan dosen, dengan sesame peserta didik dan narasumber lainnya.
Penerapan DD/CT di kelas cukup mudah, apabila dosen telah memahami kaidah-kaidahnya sebagai berikut:
1. Perubahan pandangan dosen bahwa pemberdayaan peserta didik dalam pembelajaran dengan memberi kesempatan pada peserta didik, untuk mengamati, menganalisis, mendialogkan dan akhirnya mengkonstruksikan pengetahuan dan pengalaman serta ketrampilan baru
2. Untuk mengajarkan topik sebaiknya dilaksanakan dengan kegiatan menggali dan menemukan sendiri
3. Berdayakan peserta didik untuk berani mengemukakan pendapat dan bertanya secara terbuka
4. Ciptakan suasana dialog mendalam ‘ antar peserta didik” dan “antara mahapeserta didik-dosen” oleh karenanya upayakan untuk selalu belajar dalam kelompok
5. Pergunakan berbagai media dan sumber belajar untuk memperluas wawasan
6. Berilah peserta didik kesempatan untuk melakukan refleksi sebelum pelajaran berakhir
7. Penilaian hendaknya tidak hanya berdasarkan tes
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa pendekatan DD/CT akan mampu meningkatkan minat dan motivasi belajar peserta didik. Keadaan ini tidak terlepas dari gaya mengajar dosen yang harus berubah dari gaya mengajar konvensional yakni yang hanya dengan ceramah bervariasi berubah gaya mengajar konstruktivism yang dilakukan dengan menggunakan berbagai metode (multi methods),.multi media (multi media)..Sesuai dengan pandangan Ausubel (dalam Irawan, 1996) bahwa alasan bahan yang dirancang dengan baik dan menarik perhatian peserta didik harus bertujuan untuk melaksanakan belajar secara bermakna, sehingga peserta didik memiliki kesiapan dan minat untuk belajar.
Surahkmad (1979) berpendapat motivasi yang sehat perlu ditumbuhkan dalam dunia belajar dan dieksentuasikan dari kebutuhan peserta didik. Ini berarti semakin banyak dosen memperhatikan kebutuhan peserta didik dalam belajar semakin besar motivasi peserta didik untuk belajar. gairah peserta didik untuk aktif menanggapi semua proses pembelajaran, dosen perlu bersikap adil dan penuh perhatian secara merata pada semua peserta didik. Memang peserta didik yang selama ini telah aktif semakin aktif, sementara yang pasif mulai muncul kepercayaan dirinya (self confidence) dan keberaniannya.

Daftar Pustaka

Al Hakim, Suparlan, 2004, Strategi Pembelajaran Berdasarkan Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT), P3G, Dirjen Dikdasmen, 2002. (Buku).
Ellison. Laura, 2000, Tujuh Langkah Deep dialogue/Dialog Mendalam Yang Diterapkan Pada Para Guru “ Pendidikan Anak Seutuhnya”, Unicef, GDI
Farris,P.J.&Cooper,S.M. 1994. Elementary Social Studies: a Whole language Approach. Iowa: Brown&Benchmark Publishers.
Global Dialogue Institute. 2001. Deep Dialogue/Critical Thinking as Instructional Approach. Disajikan pada TOT Pendidikan Anak Seutuhnya di Malang 1-11 Juli 2001.
Joyce, B.&Weil,M. 1986. Models of Teaching. New York:Englewood Cliffs.
Lickona, T. 1992. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York. Bantam Books.
Pang, V.O., Gay, G.& Stanley, W.B. 1995. “Expanding Conceptions of Community and Civic Competence for a Multicultural Society”. Theory and Reseach in Social Education. XXIII:4(302-331).
Savage, T.V.,& Armstrong, D.G. 1996. Effective Teaching in Elementary Social Studies. Ohio: Prentice Hall.
Swidler. L 2000, Religion Dialogue in Dialogue Era, Philadelpia, University Press
Skeel, D.J. 1995. Elementary Social Studies: Challenge for Tomarrow”s World. New York: Harcourt Brace College Publishers.
Sudjana .1997. Proses Belajar Mengajar, Jakarta, Rosdakarya
Sumarjo, H. 2003. Menyongsong UU Sisdiknas yang Baru. Kompas. 13 Maret 2003. Hlm.6.
Untari, Sri, 2002, Pendekatan Deep Dialogue/Critical Thinking,Jakarta, Dirjendisdasmen, PPPG IPS Dan PMP Malang
Walsh,D. 1988. “Critical Thinking to Reduce Prejudice. Social Education”. (280-282).
Widarti, 2002. Rencana Pembelajaran Geografi Bernuasa Deep Dialogue/Critical Thinking, (makalah dalam Pelatihan Instruktur Mata pelajaran Geografi SMP). Malang PPPG IPS-PMP

Rabu, 07 Januari 2009

Muatan Listrik

Pada minggu yang cerah, Icha menyetrika baju seragamnya. Sambil
menunggu panasnya setrika, ia menggosok-gosokkan setrika pada bajunya yang
tipis. Ternyata Icha melihat dan merasakan seakan-akan baju itu tertarik oleh
setrika dan terdengar olehnya bunyi gemercik. Mengapa semua itu bisa terjadi?
Bagaimana hubungannya dengan konsep fisika? Untuk menjawab pertanyaan ini
perlu diperhatikan beberapa konsep, yaitu menggosok, panas, dan baju tipis. Saat
Icha menggosok baju dengan setrika ada perpindahan energi gerak yang diberikan
ke baju. Setrika yang panas akan memudahkan perpindahan muatan, sedangkan
sifat atau jenis baju sangat menentukan mudah tidaknya terjadi perpindahan
muatan. Oleh karena itu, baju yang kering akibat disetrika, akan mudah
menimbulkan sifat kelistrikan begitu juga pada rambut kering bila digosok dengan
sisir, maka sisir itu akan bermuatan listrik. Mengapa harus yang kering? Tentu
karena air mempunyai sifat konduktor yang kurang baik dan energi yang
ditimbulkan akibat gosokan antara rambut basah dan sisir plastik akan diserap oleh
air tersebut, sehingga tidak muncul gejala kelistrikannya. Gejala lain dari sifat
kelistrikan secara alami adalah petir. Untuk memahami konsep listrik statis dan
penerapannya lebih lanjut akan dijelaskan pada bab ini.
Di dalam kehidupan kita sehari-hari kata listrik
bukan merupakan hal yang asing lagi. Banyak
peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik,
misalnya setrika, radio, televisi, lemari es, kipas
angin, mesin jahit listrik, magic jar, dan mesin cuci.
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam kehidupan kita
energi listrik sudah menjadi kebutuhan pokok. Oleh
karena itu penting bagi kita untuk mempelajari listrik.
Dalam ilmu fisika, listrik dibedakan menjadi dua
macam, yaitu listrik statis dan listrik dinamis. Listrik
statis mempelajari sifat kelistrikan suatu benda tanpa
memperhatikan gerakan atau aliran muatan listrik.
Dalam ilmu fisika disebut elektrostatika. Sebaliknya,
jika memperhatikan adanya muatan listrik yang
bergerak atau mengalir, maka disebut listrik dinamis
atau elektrodinamika. Thales dari Milete (540 –
546 SM) adalah ahli pikir Yunani purba, yang menurut
sejarahnya bahwa gejala listrik statis terjadi pada
batu ambar yang digosok dengan bulu. Ternyata batu
ambar tersebut dapat menarik benda-benda ringan
yang lain misalnya bulu ayam. Dalam bahasa Yunani
batu ambar sering disebut elektron.
Sesuai dengan pengamatan pada kegiatan di atas
ternyata benda-benda tertentu yang telah digosok
dapat menarik benda-benda kecil yang ada di
sekitarnya. Benda-benda yang telah digosok dan
dapat menarik benda kecil yang ada di sekitarnya ini
disebut benda yang telah bermuatan listrik.
Dari kegiatan di atas yang telah kalian
lakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Plastik yang telah digosokkan pada
rambut kering akan bermuatan listrik
negatif.
2. Kaca yang telah digosok dengan bulu
akan bermuatan listrik positif.
3. Dua buah benda yang bermuatan listrik
sejenis akan tolak-menolak dan jika
muatan listriknya berbeda akan tarikmenarik.
Untuk menerangkan pengertian adanya
sifat kelistrikan pada suatu benda, perlu
dipahami adanya konsep atom yang
dimunculkan oleh para ahli di antaranya, teori
atom Dalton, Thompson, Rutherford dan
Bohr. Secara umum dapat dijelaskan bahwa:
1. Benda terdiri atas atom-atom sejenis.
2. Setiap atom terdiri atas sebuah inti yang dikelilingi
oleh satu atau lebih elektron.
3. Inti atom bermuatan positif, elektron bermuatan
negatif.
4. Inti atom terdiri atas proton yang bermuatan
positif dan netron yang tidak bermuatan listrik.
Benda atau materi pada umumnya
mempunyai jumlah proton sama dengan
jumlah elektron benda disebut dalam
keadaan netral. Jika keseimbangan antara
jumlah proton dan jumlah elektron terusik
yaitu adanya pengurangan atau
penambahan muatan elektron, maka benda
tersebut dikatakan bermuatan listrik. Benda
akan bermuatan listrik positif bila
kekurangan elektron dan benda bermuatan
negatif apabila kelebihan elektron.
Cara tradisional untuk memperoleh
benda bermuatan listrik bisa dilakukan
dengan gosokan. Jika dua benda saling
digosokkan, maka elektron dari benda
yang satu akan pindah ke benda yang
lain, sehingga benda yang kehilangan
elektron akan bermuatan positif dan
benda yang menerima pindahan elektron
akan bermuatan negatif. Menurut
Benjamin Franklin (1706–1790),
adanya perpindahan muatan dari benda
satu ke benda yang lain merupakan
implikasi dari hukum kekekalan muatan,
artinya pada saat terjadi gosokan antara dua benda,
tidak menciptakan muatan listrik baru namun
prosesnya merupakan perpindahan muatan dari satu
benda ke benda yang lain.
Sebenarnya untuk perpindahan elektron antara
dua benda keduanya tidak perlu digosok-gosokkan,
cukup dikontakkan atau ditempelkan saja, tetapi
dengan saling digosokkan, maka perpindahan
elektron akan lebih mudah. Mengapa?
Jika ingin memperoleh logam bermuatan dengan
cara gosokan, maka logam itu harus diisolasi dari
tanah agar muatannya tidak dinetralkan, karena
adanya aliran elektron ke tanah bila bendanya
bermuatan negatif, atau sebaliknya elektron dari
tanah bila benda tersebut bermuatan positif. Atau
jika pemegang tidak pakai sepatu yang bersifat
isolator maka muatan listrik bisa mengalir melalui
tangan, badan, dan kaki si pembuat eksperimen.
Seorang ahli telah menyusun deret benda-benda,
lihat Tabel 7.1! Deret benda tersebut menunjukkan
bahwa benda akan memperoleh muatan negatif bila
digosok dengan sembarang benda di atasnya, dan
akan memperoleh muatan positif bila digosok dengan
benda di bawahnya. Deret semacam ini dinamakan
deret tribolistrik.
Tabel 7.1 Deret Tribolistrik
No. Nama Benda No. Nama Benda
1. Bulu kelinci 8. Kayu
2. Gelas 9. Batu Ambar
3. Mika 10. Damar
4. Wol 11. Logam (Cu, Ni, Ag)
5. Bulu kucing 12. Belerang
6. Sutra 13. Logam (Pt, Au)
7. Kapas 14. Seluloid
Sumber: www.google.com/listrik statis (Diunduh tanggal 8 Januari 2009)
by Syam

Minggu, 04 Januari 2009

PELAKSANA SERTIFIKASI GURU

1. Siapa yang akan melaksanakan sertifikasi guru?
UUGD Pasal 11 ayat (2) dinyatakan bahwa sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan demikian sertifikasi guru diselenggarakan oleh LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
2. Apa persyaratan perguruan tinggi yang dapat melaksanakan sertifikasi guru?
Persyaratan:
a. memiliki program studi pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi sesuai dengan peraturan yang berlaku
b. ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional
Sedangkan komponen utama yang diseleksi menyangkut jumlah program studi kependidikan, peringkat akreditasi Badan Akreditasi Nasional BAN) Perguruan Tinggi tiap program studi kependidikan, Sumber Daya Manusia (SDM) setiap program studi, sarana dan prasarana, laporan Evaluasi Program Studi Berdasarkan Evaluasi Diri (EPSBED) setiap program studi kependidikan, ketaatazasan dalam penyelenggaraan PT.


3. Apakah perguruan tinggi swasta boleh melaksanakan sertifikasi guru?
Tentu saja boleh, asalkan perguruan tinggi tersebut memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan masuk dalam daftar perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
4. Siapa yang berhak memberikan penilaian guru peserta sertifikasi?
Penilaian guru yang mengikuti sertifikasi dilakukan oleh asesor. Yang melakukan seleksi dan menetapkan asesor adalah perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi guru. Tugas asesor adalah menilai kompetensi guru sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan.
5. Apa kriteria asesor?
a. WNI yang berstatus sebagai dosen, widyaiswara, instruktur/guru senior, atau pengawas di lingkungan Dinas Pendidikan yang bersertifikat pendidik.
b. Sehat jasmani dan rohani, sehingga mampu melaksanakan tugas sertifikasi guru.
c. Memiliki komitmen dan sanggup melaksanakan sertifikasi guru secara obyektif.
d. Berpendidikan minimal S2 (ada unsur kependidikan).
e. Berpengalaman mengajar, melatih, atau membimbing guru atau calon guru dalam rentang 5 (lima) tahun terakhir dalam bidang yang sesuai.
6. Siapa yang menunjuk asesor?
Yang menetapkan asesor adalah Rektor perguruan tinggi yang ditunjuk sebagai pelaksana sertifikasi.

7. Guru muatan local, guru TIK, dan guru Kelautan, Pariwisata siapa yang mensertifikasi?
Guru muatan lokal, guru TIK, guru Kelautan, dan Pariwisata disertifikasi oleh LPTK dalam rayon setempat bekerjasama dengan perguruan tinggi lain baik dari dalam rayon maupun di luar rayon, baik LPTK maupun non LPTK yang memiliki kelayakan.

PENGERTIAN, TUJUAN , MANFAAT, DAN DASAR HUKUM PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU

1. Apa yang dimaksud dengan sertifikasi guru?
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas.
2. Apa yang dimaksud dengan sertifikat pendidik?
Sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
3. Mengapa disebut sertifikat pendidik bukan sertifikat guru?
Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen disebut sertifikat pendidik. Pendidik yang dimaksud disini adalah guru dan dosen. Proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru disebut sertifikasi guru, dan untuk dosen disebut sertifikasi dosen.
4. Apa tujuan dan manfaat sertifikasi guru?
Sertifikasi guru bertujuan untuk:
a. menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional
b. meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan
c. meningkatkan martabat guru
d. meningkatkan profesionalitas guru
Adapun manfaat sertifikasi guru dapat dirinci sebagai berikut.
a. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru.
b. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional.
c. Meningkatkan kesejahteraan guru
5. Mengapa sertifikasi guru dilakukan?
Guru merupakan sebuah profesi seperti profesi lain: dokter, akuntan, pengacara, sehingga proses pembuktian profesionalitas perlu dilakukan. Seseorang yang akan menjadi akuntan harus mengikuti pendidikan profesi akuntan terlebih dahulu. Begitu pula untuk profesi lainnya termasuk profesi guru.
6. Apa dasar pelaksanaan sertifikasi?
Dasar utama pelaksanaan sertifikasi adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005.
Pasal yang menyatakannya adalah Pasal 8: guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal lainnya adalah Pasal 11, ayat (1) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.

Landasan hukum lainnya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan yang ditetapkan pada tanggal 4 Mei 2007.
7. Apa sertifikasi guru menjamin peningkatan kualitas guru?
Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas.
Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk meningkatkan kualifikasinya, maka belajar kembali ini bertujuan untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru.
Demikian pula kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru.