Harapan Penulis: Semoga Blog Pendidikan Sains ini membuka cakrawala baru mengenai dunia Pendidikan Sains umumnya dan Pendidikan Fisika khususnya. "Ilmu tanpa nurani adalah kehampaan,nurani tanpa ilmu adalah keniscayaan yang tak akan terwujud". "Kecerdasan seseorang bukan diukur hanya dari seberapa hebat dia menguasai ilmu, melainkan lebih pada bagaimana seseorang tersebut dapat memanfaatkan ilmunya"
Sabtu, 21 Juni 2008
PENGEMBANGAN MODEL CREATIVE PROBLEM SOLVING BERBASIS TEKNOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2007
ABSTRAK
Pengembangan Model Creative Problem Solving berbasis Teknologi dalam Pembelajaran Matematika di SMA
Oleh:
A.N. CAHYONO
Pendidikan Matematika 2005 Program Pascasarjana Unnes
e-mail : adi_himatika@plasa.com
http://www.adi-negara.blogspot.com/
Kata kunci : Creative Problem Solving berbasis Teknologi, Ketrampilan Proses, keaktifan siswa, hasil belajar.
Tujuan diberikannya matematika antara lain agar siswa terlatih untuk bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jenius dan efektif. Model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada ketrampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran Creative Problem Solving berbasis teknologi, mengetahui ketuntasan belajar pada hasil belajar, keaktifan dan ketrampilan proses siswa, pengaruh keaktifan dan ketrampilan proses terhadap hasil belajar siswa, perbedaan hasil belajar siswa pada model CPSbT dengan konvensional pada karakteristik pengelompokan siswa menurut kemampuan awal (atas, tengah, bawah). Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model Thiagarajan, Semmel & Semmel (4D), yaitu define, design, develop, disseminate. Yang dikembangkan adalah rencana pembelajaran, buku guru, buku siswa, multimedia pembelajaran dan soal tes dengan materi trigonometri (aturan sinus dan kosinus) dan kaitannya dengan teknologi (aplikasi ilmu dalam kehidupan). CPSbT merupakan model pembelajaran yang efektif, berpusat pada siswa, ketrampilan proses dan aktifitas siswa berpengaruh kuat terhadap hasil belajar, terdapat perbedaan yang signifikan antara has bel model CPSbT dengan model konvensional, dan terdapat perbedaan hasil belajar antara kelompok atas, tengah dan bawah, hasil belajar mencapai ketuntasan belajar. CPSbT merupakan model pembelajaran yang efektif. Oleh karena itu para guru matematika diharapkan dapat menerapkan dalam pembelajaran matematika, khususnya pokok bahasan trigonometri kelas X. Guru hendaknya meningkatkan ketrampilan proses dan keaktifan siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat maksimal. Para guru dapat mengembangkan perangkat pembelajaran yang serupa untuk pokok bahasan lain, bahkan para guru dapat mengembangkan untuk model pembelajaran yang lain. Para peneliti dapat mengembangkan hasil penelitian ini lebih mendetail baik pada mata pelajaran matematika atau lainnya.
A. Pendahuluan
Pendidikan matematika mempunyai potensi besar untuk memainkan peran strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini dapat terwujud jika pendidikan matematika mampu melahirkan peserta didik yang cakap dalam matermatika dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, bersifat kritis, kreatif, inisiatif dan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan. Kualitas sumber daya manusia seperti ini menjamin keberhasilan upaya penguasaan teknologi untuk pembangunan di Indonesia.
Teknologi adalah kemampuan menerapkan suatu pengetahuan dan kependaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan suatu produk, yang berhubungan dengan seni, yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta bersandarkan pada aplikasi dan implikasi pengetahuan itu sendiri. Teknologi yang merupakan aplikasi kemajuan ilmu pengetahuan yang membawa dunia pendidikan untuk menyesuaikannya. Strategi pembelajaran harus berorientasi pada kebutuhan teknologi masa kini, artinya setiap materi yang sudah dirancang dalam jabaran KBK dicarikan link sdengan masalah kontekstual dan teknologi, adakah kegunaan materi yang diajarkan sekarang di masa yang akan datang.
Berdasarkan teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Gagne dalam Suherman (2001:83), bahwa ketrampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan tipe paling tinggi dari delapan tipe belajar, yaitu signal learning, stimulus-respon learning, chaining, verbal association, discrimination learning, concept learning, rule learning dan problem solving.
Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematika seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika dapat dikembangkan secara lebih baik Hasil penelitian yang dilakukan The National Assesment of Educational Progress (NAEP) dalam Suherman (2001: 84) menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah menurun drastis manakala setting (konteks) permasalahannya diganti dengan hal yang tidak dikenal siswa, walaupun permasalahan matematikanya tetap sama.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, perlu dikembangkan model pembelajaran matematika yang sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang ada serta berpandangan pada perkembangan teknologi dan tuntutan era globalisasi dan kurikulum, diantaranya dengan model creative problem solving (CPS) berbasis teknologi dalam pembelajaran matematika.
B. Problem Solving
Problem Solving atau pemecahan masalah merupakan bagian dari analitical thinking atau pemikiran analitis.
Problem solving is the process of obtaining a satisfactory solution to a novel problem, or at least a problem which the problem solver has not seen before.(Woods: 1975: 1).
Sebuah strategi adalah bagian dari langkah yang saling terkait yang dipakai oleh pemecah masalah mencari solusi. Salah satu strategi untuk mengajar siswa adalah strategi yang disarankan oleh ahli matematika, Gyorgy Polya. Menurut Polya (1971: 2), langkah-langkah dalam strategi Polya adalah:
1. Devine
Mengidentifikasi permasalahan yang ada.
2. Think about It
a. Apa sajakah yang berkaitan dengan permasalahan tersebut?
b. Mengidentifikasi daerah permasalahan
c. Mengumpulkan informasi
3. Plan
a. Diagram Solusi
b. Memikirkan rencana alternatif
c. Menterjemahkan
4. Carry Out Plan
Memecahkan permasalahan
5. Look Back
a. Verifikasi pemecahan masalah yang telah didefinisikan sebelumnya
b. Identifikasi penerapan
c. Menyimpulkan
Ada dua jalan dalam problem solving dimana keduanya mempunyai proses yang berbeda.
Problem solving is done in two ways, the traditional and the creative way. Traditional problem solving is a process that takes the solver from a set of conditions to a resolution of the problem. Without encountering the situation, the solver cannot progress from the conditions to the resolution. Meanwhile, creative problem solving has one major difference from the traditional one since, in the former, the solution to the set of conditions is not unique. Thus, the analytical and evaluative mind is more likely to solve a creative problem than one which is not. (Loewen: 1995: 1)
C. Model Creative Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika
Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Dalam pengertian lain, model diartikan sebagai barang tiruan, metafor, atau kiasan yang dirumuskan. Pouwer (1974: 243) menerangkan tentang model dengan anggapan seperti kiasan yang dirumuskan secara eksplisit yang mengandung sejumlah unsur yang saling tergantung. Sebagai metafora model tidak pernah dipandang sebagai bagian data yang diwakili. Model menjelaskan fenomena dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Setiap model diperlukan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih atau berbeda dari data. Syarat ini dapat dipenuhi dengan menyajikan data dalam bentuk: ringkasan (type, diagram), konfigurasi (structure), korelasi (pola), idealisasi, dan kombinasi dari keempatnya. Jadi model merupakan kiasan yang padat yang bermanfaat bagi pembanding hubungan antara data terpilih dengan hubungan antara unsur terpilih dari suatu konstruksi logis.
Menurut Soekamto (1997: 78), model pembelajaran merupakan kerangka yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pemandu bagi para perancang desain pembelajaran dan para pengajar dalam mmerencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Menurut Karen (2004: 1), model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada ketrampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas. Ketika dihadapkan dengan situasi pertanyaan, siswa dapat melakukan ketrampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, ketrampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir.
CPS merupakan representasi dimensi-dimensi proses yang alami, bukan suatu usaha yang dipaksakan. CPS merupakan pendekatan yang dinamis, siswa menjadi lebih trampil sebab siswa mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun dari awal.
Ada banyak kegiatan yang melibatkan kreatifitas dalam pemecahan masalah seperti riset dokumen, pengamatan terhadap lingkungan sekitar, kegiatan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, dan penulisan yang kreatif. Dengan CPS, siswa dapat memilih dan mengembangkan ide dan pemikirannya. Berbeda dengan hafalan yang sedikit menggunakan pemikiran, CPS memperluas proses berpikir.
Sasaran dari CPS adalah sebagai berikut.
1. siswa akan mampu menyatakan urutan langkah-langkah pemecahan masalah dalam CPS
2. siswa mampu menemukan kemungkinan-kemungkinan strategi pemecahan masalah
3. siswa mampu mengevaluasi dan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan tersebut kaitannya dengan kriteria-kriteria yang ada
4. siswa mampu memilih suatu pilihan solusi yang optimal
5. siswa mampu mengembangkan suatu rencana dalam mengimplementasikan strategi pemecahan masalah
6. siswa mampu mengartikulasikan bagaimana CPS dapat digunakan dalam berbagai bidang/ situasi.
Osborn (1963), mengatakan bahwa CPS mempunyai 3 prosedur, yaitu:
1. menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan dan meneliti data dan informasi yang bersangkutan
2. menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan memodifikasi gagasan tentang strategi pemecahan masalah
3. manemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan masalah
Dua fase proses kreatif dalam pemecahan masalah menurut Von Oech (1990), yaitu fase imaginatif dan fase praktis. Dalam fase imaginatif gagasan strategi pemecahan masalah diperoleh, dan dalam fase praktis, gagasan tersebut dievaluasi dan dilaksanakan.
Karen (2004:2) menuliskan langkah-langkah creative problem solving dalam pembelajaran matematika sebagai hasil gabungan prosedur Von Oech dan Osborn sebagai berikut.
1. Klarifikasi masalah
Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian yang diharapkan.
2. Pengungkapan gagasan
Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah
3. Evaluasi dan seleksi
Setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah
4. Implementasi
Siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut
Dengan membiasakan siswa menggunakan langkah-langkah yang kreatif dalam memecahkan masalah, diharapkan dapat membantu siswa untuk mengatasi kesulitan dalam mempelajari matematika.
Implementasi model creative problem solving berbasis teknologi dalam pembelajaran matematika yaitu:
1. Tahap awal
Guru menanyakan kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran matematika, kemudian mengulas kembali materi sebelumnya yang dijadikan prasayarat materi yang akan dipelajari siswa dan menjelaskan aturan main dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model creative problem solving berbasis teknologi. Guru juga memberikan motivasi kepada siswa tentang pentingnya pembelajaran yang akan dilaksanakan.
2. Tahap inti
Siswa membentuk kelompok kecil untuk melakukan small discussion. Tiap kelompok terdiri atas 4-5 siswa yang dibentuk oleh guru dan bersifat permanen. Tiap kelompok mendapat modul, LKS dan CD Interaktif yang berisi materi pembelajaran dan permasalahan untuk dibahas bersama dalam kelompoknya. Secara berkelompok siswa memecahkan permasalahan yang terdapat dalam LKS dan CD sesuai dengan petunjuk yang tersedia di dalamnya. Siswa mendapat bimbingan dan arahanh dari guru dalam memecahkan masalah. Peranan guru dalam hal ini adalah menciptakan situasi yang dapat memudahkan munculnya pertanyaan dan mengarahkan kegiatan brainstorming dalam rangka menjawab pertanyaan atas dasar interest siswa. Penekanan dalam pendampingan siswa dalam menyelesaikan permasalahan adalah sebagai berikut:
a. Klarifikasi masalah
Setelah guru menjelaskan materi pembelajaran matematika, siswa dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok kecil dan menerima beberapa proyek yang berkaitan dengan materi pelajaran. Guru bersama siswa mengklarifikasi permasalahan yang ada dalam proyek tersebut sehingga siswa mengetahui solusi yang diharapkan dari proyek tersebut. Dalam tahap ini, masing-masing kelompok mengajukan proposal kepada guru tentang proyek yang akan dipecahkan permasalahannya.
b. pengungkapan gagasan
Siswa menggali dan mengungkapkan pendapat sebanmyak-banyaknya berkaitan dengan strategi pemecahan masalah yang dihadapi dalam proyek tersebut.
c. evaluasi dan seleksi
Setelah diperoleh daftar gagasan-gagasan, siswa bersama guru dan teman lainnya mengevaluasi dan menyeleksi berbagai gagasan tentang strategi pemecahan masalah, sehingga pada akhirnya diperoleh suatu strategi yang optimal dan tepat.
d. implementasi
Dalam tahap ini, siswa bersama kelompoknya memutuskan tentang strategi pemecahan masalah dalam proyeknya. Dan melaksanakan strategi yang dipilih dalam memecahkan permasalahan sesuai dengan proposal yang telah diajukan.
Setelah pekerjaan selesai siswa bersama kelompoknya mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas dengan menggunakan media sesuai dengan kreatifitasnya untuk menyampaikan gagasannya dan mendapatkan saran dan kritik dari pihak lain sehingga diperoleh solusi yang optimal berkaitan dengan pemecahan masalah. Kemudian guru bersama siswa menyimpulkan materi pembelajaran ke arah matematika formal.
3. Tahap penutup.
Sebagai pemantapan materi, secara individual siswa mengerjakan pop quiz yang ditampilkan dengan media pembelajaran dan guru memberikan poin bagi siswa yang mampu memecahkan permasalahan sebagai upaya memotivasi siswa dalam mengerjakan soal-soal.
Suatu soal yang dianggap sebagai masalah adalah soal yang memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya. Masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah mengetahui cara menyelesaikannya, karena telah jelas hubungan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan, dan umumnya telah ada contoh soal. Pada masalah, siswa tidak tahu menyelesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih strategi pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dari suatu masalah.
C. Pembelajaran Matematika dan Teknologi
Menurut Paul W. Devore (1980:147), teknologi adalah ilmu terapan yang telah dikembangkan lebih lanjut dan meliputi perangkat keras dan perangkat lunak yang merupakan manivestasi atas kekuasaan terhadap alam, manusia dan kebudayaannya. Teknologi adalah kemampuan menerapkan suatu pengetahuan dan kependaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan suatu produk, yang berhubungan dengan seni, yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta bersandarkan pada aplikasi dan implikasi pengetahuan itu sendiri. Kurikulum 2004 dan pembelajaran matematika saat ini masih terkesan banyak kekurangan bila diorientasikan dengan kemajauan teknologi dewasa ini. Teknologi yang merupakan aplikasi kemajuan ilmu pengetahuan yang membawa dunia pendidikan untuk menyesuaikannya. Strategi pembelajaran harus berorientasi pada kebutuhan teknologi masa kini, artinya setiap materi yang sudah dirancang dalam jabaran Kurikulum dicarikan link dengan masalah kontekstual dan teknologi, adakah kegunaan materi yang diajarkan sekarang di masa yang akan datang.
Dalam menghadapi dan menyikapi kurikulum yang berbasis kompetensi maka diperlukan kemampuan yang memadai di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang komputer. Perkembangan teknologi sekarang ini menuntut penggunaan komputer yang lebih bervariatif dan efektif, termasuk didalamnya penggunaan aplikasi komputer dalam proses pembelajaran di Sekolah sebagai media pembelajaran atau media pendidikan, diantaranya dengan menggunakan multimedia pembelajaran dalam bentuk CD Interaktif yang disertai buku siswa.
Komputer sebagai suatu alat yang dapat digunakan untuk merancang desain pembelajaran, kemudian dipindahkan kedalam CD interaktif sehingga mudah digunakan oleh pengguna. Software dan Hardware yang dapat digunakan untuk mendesain media CD interaktif dan pemanfaatannya antara lain adalah Macromedia Flash MX, SwisH v2.0, Swift 3D’s Max, Movie maker,Ullite Video Studio 7, Audicity, Ahead Nero Burning, digital camera, handycam, computer, VCD Player, LCD projector.
Untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pembelajaran, maka pembelajaran hendaknya berorientasi pada Freudenthal Perspective.
Mathematics look like a plural as it still is in French Les Mathematiques. Indeed, long ago it meant a plural: four arts (liberal ones worth being pursued by free men). Mathematics was the quadrivium, the sum of arithmetic, geometry astronomy and music, held in higher esteem than the (more trivial) trivium: grammar, rhetoric and dialectic. …As far as I am familiar with languages, Ducth is the only one in which the term for mathematics is neither derived from nor resembles the internationally sanctioned Mathematica. The Ducth term was virtually coined by Simon (1548 - 1620): Wiskunde, the science of what is certain. Wis en zeker, sure and certain, is that which does not yield to any doubt, and kunde means, knowledge, theory. (Freudental, 1991: 1)
Dua pandangan penting Feudenthal adalah:
1. Mathematics as human activity, sehingga peserta didik harus diberi kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas matematisasi pada semua topik dalam matematika, dan
2. Mathematics must be connected to reality, sehingga matematika harus dekat terhadap peserta didik dan harus dikaitkan dengan situasi kehidupan sehari-hari.
Dengan memperhatikan pandangan tersebut diharapkan pembelajaran matematika bertolak dari masalah-masalah kontekstual. Agar sistem pembelajaran dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memenuhi kebutuhan maka konteks yang dipilih adalah yang berkaitan dengan teknologi.
D. Pembelajaran Matematika di SMA
Pembelajaran matematika sekolah adalah pembelajaran yang mengacu pada ketiga fungsi mata pelajaran matematika, yaitu sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Dua hal penting yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran matematika di SMA menurut Suherman (2001: 60) adalah pembentukan sifat dengan berpikir kritis dan kreatif. Dengan berlandaskan kepada prinsip pembelajaran matematika yang tidak sekedar learning to know, melainkan juga harus meliputi learning to do, learning to be, hingga learning to live together, maka pembelajaran matematika harus bersandarkan pada pemikiran bahwa peserta didik harus belajar dan semestinya dilakukan secara komperhensif dan terpadu.
Materi pokok Trigonometri merupakan salah satu materi pokok yang diajarkan di kelas X SMA dengan standar kompetensinya adalah menggunakan perbandingan, fungsi, persamaan, dan identitas trigonometri dalam pemecahan masalah. Kompetensi dasar dalam pembelajaran matematika materi pokok Trigonometri adalah
1. menggunakan sifat dan aturan tentang fungsi trigonometri, rumusi sinus, dan rumus kosinus dalam pemecahan masalah
2. melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan teknis yang berkaitan dengan fungsi trigonometri
3. merancang model matematika yang berkaitan dengan fungsi trigonometri, rumus sinus dan kosinus, menyelesaikan modelnya, dan menafsirkan hasil yang diperoleh.
E. Metode Penelitian
1. Jenis, Lokasi, dan Subjek Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pengembangan (development research) yang menekankan pada pengembangan model pembelajaran Creative Problem Solving berbasis teknologi. Pengembangan model pembelajaran Creative Problem Solving berbasis teknologi meliputi perangkat pembelajaran berupa buku guru, buku siswa, multimedia pembelajaran, dan RP serta instrumen-instrumen lain berupa intsrumen pengamatan, dan evaluasi hasil belajar.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Ibu Kartini Semarang pada siswa kelas X semester genap tahun pelajaran 2006/ 2007 yang terdiri dari 5 kelas dengan kemampuan sama. Subjek penelitian diambil 3 kelas secara acak melalui pengundian, kelas X-3 sebagai subjek penelitian tahap pengembangan (develop) kelas X-1 sebagai subjek penelitian tahap penyebaran (disseminate) dan kelas X-2 sebagai kelas kontrol yang diberi pembelajaran matematika dengan model pembelajaran konvensional. Penelitian dilaksanakan di SMA Ibu Kartini karena sebelum penelitian tersebut dilaksanakan, siswa kesulitan dalam mempelajari matematika khususnya materi trigonometri dan oleh karena sekolah termasuk dalam kondisi menengah (bukan sekolah favorit dan bukan pula kelas bawah) maka diasumsikan hasil penelitian dapat diberlakukan juga untuk sekolah lain.
Sebelum penelitian dilaksanakan, diperlukan data hasil belajar peserta didik pada materi sebelum materi trigonometri yang digunakan untuk mengetahui apakah kemampuan awal ketiga kelas tersebut benar-benar sama atau tidak dan untuk mengetahui posisi peserta didik di kelas berdasar kemampuan awal (atas, tengah, bawah) serta untuk mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok yang heterogen. Setiap kelompok terdapat siswa yang berasal dari kelompok atas, tengah, bawah.
2. Variabel Penelitian
a. Hipotesis 1 (Pembelajaran Trigonometri kelas X SMA dengan model pembelajaran creative problem solving berbasis teknologi dapat mencapai ketuntasan belajar pada hasil belajar, keaktifan dan keterampilan proses siswa)
Subyek : kelas X-1
Variabel : 1) keaktifan siswa (X)
2) ketrampilan proses siswa (Y)
3) hasil belajar siswa (Z)
b. Hipotesis 2 (Keaktifan dan ketrampilan proses siswa pada pembelajaran trigonometri kelas X SMA dengan menggunakan model pembelajaran creative problem solving berbasis teknologi berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa)
Subyek : kelas X-1
Variabel independen : 1) keaktifan siswa (X)
2) ketrampilan proses siswa (Y)
Variabel dependen : hasil belajar siswa (Z)
c. Hipotesis 3 (Terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada pembelajaran trigonometri kelas X SMA dengan model pembelajaran creative problem solving berbasis teknologi dan model pembelajaran konvensional pada karakteristik pengelompokan siswa menurut kemampuan awal (atas, tengah, bawah)
Subyek : kelas X-1 dan X-2
Variabel independen : 1) baris : jenis kemampuan awal siswa
i. kelompok atas (A1)
ii. kelompok tengah (A2)
iii. kelompok bawah (A3)
2) Kolom : jenis model pembelajaran
a) Model CPS berbasis teknologi (B1)
b) Model konvensional.(B2)
Variabel dependen : hasil belajar siswa (Z)
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Metode dokumentasi
Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data langsung dari tempat penelitian.
b. Metode tes
Metode ini bertujuan mengukur hasil belajar siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Metode ini digunakan untuk mengukur efektifitas model pembelajaran creative problem solving berbasis teknologi yang dikembangkan. Instrumen yang digunakan berupa soal tes hasil belajar.
c. Metode pengamatan/observasi
Metode ini bertujuan mengamati secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan.
F. Pengembangan Perangkat Pembelajaran, Instrumen Penelitian, dan Hasil Penelitian
1. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah perangkat pembelajaran matematika berorentasi model creative problem solving berbasis teknologi yang meliputi: buku guru, buku siswa, multimedia pembelajaran, rencana pembelajaran (RP), dan tes hasil belajar. Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model Thiagarajan, Semmel dan Semmel yang dikenal dengan 4 D yaitu define (pendefinisian), design (perancangan), develop (pengembangan), dan disseminate (penyebaran) (Abba, 2000:28). Tahapan pengembangan perangkat dapat dilihat pada diagram alur pada gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alur Rancangan Pengembangan Perangkat Pembelajaran (Abba 2000:34)
2. Pengembangan Instrumen
Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian perlu divalidasi para ahli dan diujicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya (tahap penyebaran) di kelas penyebaran. Uji coba instrumen penelitian dilaksanakan di kelas pengembangan. Hasil dan proses pembelajaran di kelas penyebaran dibandingkan dengan kelas kontrol yang menerapkan model konvensional. Instrumen pengamatan meliputi: lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran, lembar pengamatan aktivitas guru dan siswa, lembar pengamatan Ketrampilan Proses, instrumen tes. Sebelum digunakan dalam tahap penyebaran, instrumen-instrumen tersebut diuji validitas dan reliabilitasnya dengan berdasar pendapat ahli dan uji coba lapangan.
3. Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata reliabilitas perangkat pembelajaran (buku guru, buku siswa, rencana pembelajaran, multimedia pembelajaran dan instrument tes) adalah 98,30%, kategori reliabilitas tinggi, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran diapat dikategorikan baik sekali, dengan rata-rata skor 3,52. Rata-rata aktivitas guru dalam proses pembelajaran sebesar 3,54 atau mencapai 88,48 % (kategori baik sekali). Hal ini menunjukkan bahwa guru telah melaksanakan aktivitas dalam proses pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran menggunakan model CPS berbasis teknologi. Rata-rata aktivitas siswa dalam proses pembelajaran sebesar 3,54 atau mencapai 88,57 % (kategori baik sekali), hal ini menunjukkan bahwa keaktifan siswa dalam proses pembelajaran menggunakan model CPS berbasis teknologi sangat tinggi. Jika dilihat rata-rata keaktifan siswa dari tiap-tiap pertemuan, menunjukkan adanya peningkatan keaktifan siswa dari yang semula rata-ratanya 3.45 menjadi 3.54 pada pertemuan terakhir. Rata-rata ketrampilan proses siswa dalam pembelajaran sebesar 3.57 atau mencapai 89.26% (baik sekali), hal ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran menggunakan model CPS berbasis teknologi siswa terampil dalam melaksanakan proses-proses pembelajaran.
Berdasarkan perhitungan, diperoleh = 1,296 dengan siginifikansi 0,069 > 0,05 , sehingga Ho diterima artinya data berdistribusi normal. Dengan demikian statistik yang dipakai adalah statistik parametrik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa data hasil belajar matematika dari kelompok atas, menengah, dan bawah pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal dan homogen. Untuk menguji perbedaan rata-rata antara kelompok atas, menengah, dan bawah digunakan uji Univariate One Way Anova.
Berdasarkan perhitungan, pada kelompok baris nilai sig. = 0,020 <> 5%.
Pada kelas eksperimen, diperoleh rata-rata skor kelompok atas = 79,1250 dengan s = 1,5526, rata-rata kelompok menengah = 69,3043 dengan s = 7,3635, rata-rata kelompok bawah = 57,0000 dengan s = 2,1794. Dengan n = 8, n = 23, dan n = 9, diperoleh F = 31,259. Dengan = 5% dan dk = (2,37), F = 3,25. Oleh karena F > F , maka Ho ditolak dan Ha diterima berarti proses pembelajaran matematika pada pokok bahasan trigonometri dengan menggunakan model pembelajaran CPS berbasis teknologi antara kelompok atas, menengah, dan bawah adalah berbeda. Berdasarkan uji LSD diperoleh bahwa yang berbeda secara signifikan adalah kelompok atas dan bawah, dengan perbedaan rata-rata 22,1250
Dengan Regression Analysis, diperoleh nilai F = 25,643 dengan taraf signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh ketrampilan proses terhadap hasil belajar yang sangat kuat atau Ho ditolak artinya terdapat pengaruh antara ketrampilan proses dengan hasil belajar.
Hasil perhitungan diperoleh korelasi antara ketrampilan proses dengan hasil belajar sebesar 63,5 % serta ketrampilan proses siswa memberi kontribusi terhadap hasil belajar sebesar 40,3%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan antara ketrampilan proses siswa dengan hasil belajar adalah sangat kuat. Persamaan regresi antara ketrampilan proses siswa dengan hasil belajar adalah = 32,371 + 2,657 X , dengan Y = hasil belajar, dan X = Katrampilan proses
Berdasarkan perhitungan juga diperoleh nilai F = 27,616 dengan taraf signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh keaktifan terhadap hasil belajar yang sangat kuat atau Ho ditolak artinya terdapat pengaruh antara keaktifan dengan hasil belajar. Korelasi antara keaktifan dengan hasil belajar sebesar 64,9 % serta keaktifan siswa memberi kontribusi terhadap hasil belajar sebesar 42,1%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan antara keaktifan siswa dengan hasil belajar adalah sangat kuat. Persamaan regresi antara keaktifan siswa dengan hasil belajar adalah = 13,968 + 1,987 X , dengan Y = hasil belajar, dan X = Keaktifan
Dari Compare Mean One Sample t Test , diperoleh t = 2,963. Dengan kriteria uji pihak kanan, untuk = 5% dan dk = n – 1 = 39–1 = 38 diperoleh t = 2,021. Karena t > t , maka Ho ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar 65,0, sehingga dapat dinyatakan siswa telah menguasai materi karena telah mencapai ketuntasan belajar. Dengan demikian, proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CPS berbasis teknologi dapat mencapai tujuan pembelajaran (mencapai ketuntasan belajar), dengan rata-rata hasil belajar sebesar 80,57.
Dari Compare Mean One Sample t Test diperoleh t = 7,203. Dengan kriteria uji pihak kanan, untuk = 5% dan dk = n – 1 = 39–1 = 38 diperoleh t = 2,021. Karena t > t , maka Ho ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rata-rata keaktifan siswa 24, sehingga dapat dinyatakan siswa telah mencapai ketuntasan keaktifan siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CPS berbasis teknologi dapat mencapai tujuan pembelajaran, dengan rata-rata keaktifan siswa sebesar 27,45.
Dari Compare Mean One Sample t Test diperoleh t = 4,565. Dengan kriteria uji pihak kanan, untuk = 5% dan dk = n – 1 = 39–1 = 38 diperoleh t = 2,021. Karena t > t , maka Ho ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rata-rata keterampilan proses siswa 14,0, sehingga dapat dinyatakan siswa telah mencapai keterampilan proses. Dengan demikian, proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CPS berbasis teknologi dapat mencapai tujuan pembelajaran, dengan rata-rata keterampilan proses sebesar 13,60.
G. Penutup
1. Simpulan
Pada kasus ini, CPSbT merupakan model pembelajaran yang efektif, berpusat pada siswa, ketrampilan proses dan aktifitas siswa berpengaruh kuat terhadap hasil belajar, terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar model CPSbT dengan model konvensional, dan terdapat perbedaan hasil belajar antara kelompok atas, tengah dan bawah, hasil belajar, keaktifan, dan keterampilan proses siswa mencapai ketuntasan.
2. Saran
Model pembelajaran Creative Problem Solving Berbasis Teknologi dapat digunakan sebagai alternative dalam pembelajaran matematika khususnya materi Trigonometri kelas X SMA. CPSbT merupakan model pembelajaran yang efektif. Oleh karena itu para guru matematika diharapkan dapat menerapkan dalam pembelajaran matematika, khususnya pokok bahasan trigonometri kelas X. Guru hendaknya meningkatkan ketrampilan proses dan keaktifan siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat maksimal. Para guru dapat mengembangkan perangkat pembelajaran yang serupa untuk pokok bahasan lain, bahkan para guru dapat mengembangkan untuk model pembelajaran yang lain. Para peneliti dapat mengembangkan hasil penelitian ini lebih mendetail baik pada mata pelajaran matematika atau lainnya.
Daftar Rujukan
Abba, Nurhayati. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berorientasi Model Pembelajarn Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction). Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya.
Abraham, M. and Renher W, J., 1986. The Sequence of Learning Cycle Activities in High School Chemestry, Journal of Research in Science Teaching, 23 (3), 121-143.
Arikunto, Suharsimi.1995. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara.
Darhim. 1993. Workshop Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Darsono, M. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Matematika SMA dan MA. Jakarta: Depdiknas.
Freudental, H.1991. Revisting Mathematics Education. Netherland: Kluwer Academic Publisher.
Karen L, Ppepkins. 2004. Creative Problem Solving in Math. Artikel dari www.uh.edu (1 Juli 2006).
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning, Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang – ruang Kelas. Jakarta : Gramedia.
Loewen, A. Craig. 2005. Creative Problem Solving. Artikel dari http://findarticles.com/p/ articles/ mi_hb3451/is_199510/ai_n8219497 (1 Juli 2006).
Megawangi, Ratna. 2005. Pendidikan Holistik. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Nasution, S. 2004. Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Nuriana R., 2005. Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Video Compact Disk dalam Pembelajaran Matematika. Artikel dari http: //www. mathematic. transdigit.com/ (1 Juli 2006).
Osborn, Alex F. 1963. Applied Imagination. New York: Charles Scribner’s Sons.
Pouwer, J. 1994. The Structural Confdigurational Approach a Methodological Outline dalam The Unconscious in Culture. New York: Dutton & Co.
Pramuntadi. 2003. Self Evaluation dalam Konteks Perencanaan. Makalah Diskusi di Depdiknas. Jakarta.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Slavin, R., 1994. Educational Psychology: Theories and Practice Fourth Edition Masschusetts: Allyn andBacon Publishers.
Soeharto, K. 1995. Teknologi Pembelajaran. SIC Surabaya.
Soekanto, T dan Winapuitra, U. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sriyono. 1992. Teknik Belajar Mengajar Dalam CBSA. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana. 2000. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sudjana, N. 1990. Penilaian Hasil Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suherman, E. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung: JICA-UPI
Sularyo. 2003. Upaya Meningkatkan Ketuntasan Belajar Fisika dengan Metode Belajar Kelompok dan Berwawasan Sets pada Siswa Kelas II SMUN 2 Semarang Tahun 2002 – 2003. Tesis.Semarang: PPs UNNES.
Thiagarajan, S. and Semmel, M. 1974. Instructional Development forTraining Teachers of Exceptional Children. Blomington: Central for Innovation on Teaching the Handicapped.
Treffiger, Donald J. 1995. Creative Problem Solving: Overview and Educational Implications. Educational Psychology Review, 7, 301-312.
Tuckman, B. 1974. Conducting Educational Research. Second Edition. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Usman, W. 1989. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Von Oech, Roger. 1990. A Whack on the Side of the Head. New York: Wagner.
Woods, Donald R., et.al. 1975. Teaching Problem Solving Skills. Engineering Education, 66 (no.3), 238-243 (December 1975).
Zulkardi. 2000. How to Design Mathematics Lesson on the Realistic Approach?. Artikel dari www.geocities.com/ratuilma/rme.htm. (23 Agustus 2003).
Teaching Science through Inquiry. ERIC/CSMEE Digest.
Publication Date: 1993-03-00
Author: Haury, David L.
Source: ERIC Clearinghouse for Science Mathematics and Environmental Education Columbus OH.
Teaching Science through Inquiry. ERIC/CSMEE Digest.
"If a single word had to be chosen to describe the goals of science educators during the 30-year period that began in the late 1950s, it would have to be INQUIRY." (DeBoer, 1991, p. 206).
In a statement of shared principles, the U.S. Department of Education and the National Science Foundation (1992) together endorsed mathematics and science curricula that "promote active learning, inquiry, problem solving, cooperative learning, and other instructional methods that motivate students." Likewise, the National Committee on Science Education Standards and Assessment (1992) has said that "school science education must reflect science as it is practiced," and that one goal of science education is "to prepare students who understand the modes of reasoning of scientific inquiry and can use them." More specifically, "students need to have many and varied opportunities for collecting, sorting and cataloging; observing, note taking and sketching; interviewing, polling, and surveying" (Rutherford & Algren, 1990).
DISTINGUISHING FEATURES OF INQUIRY-ORIENTED SCIENCE INSTRUCTION
From a science perspective, inquiry-oriented instruction engages students in the investigative nature of science. As Novak suggested some time ago (1964), "Inquiry is the [set] of behaviors involved in the struggle of human beings for reasonable explanations of phenomena about which they are curious." So, inquiry involves activity and skills, but the focus is on the active search for knowledge or understanding to satisfy a curiosity.
Teachers vary considerably in how they attempt to engage students in the active search for knowledge; some advocate structured methods of guided inquiry (Igelsrud & Leonard, 1988) while others advocate providing students with few instructions (Tinnesand & Chan, 1987). Others promote the use of heuristic devices to aid skill development (Germann, 1991). A focus on inquiry always involves, though, collection and interpretation of information in response to wondering and exploring.
From a pedagogical perspective, inquiry-oriented teaching is often contrasted with more traditional expository methods and reflects the constructivist model of learning, often referred to as active learning, so strongly held among science educators today. According to constructivist models, learning is the result of ongoing changes in our mental frameworks as we attempt to make meaning out of our experiences (Osborne & Freyberg, 1985). In classrooms where students are encouraged to make meaning, they are generally involved in "developing and restructuring [their] knowledge schemes through experiences with phenomena, through exploratory talk and teacher intervention" (Driver, 1989). Indeed, research findings indicate that, "students are likely to begin to understand the natural world if they work directly with natural phenomena, using their senses to observe and using instruments to extend the power of their senses" (National Science Board, 1991, p. 27).
In its essence, then, inquiry-oriented teaching engages students in investigations to satisfy curiosities, with curiosities being satisfied when individuals have constructed mental frameworks that adequately explain their experiences. One implication is that inquiry-oriented teaching begins or at least involves stimulating curiosity or provoking wonder. There is no authentic investigation or meaningful learning if there is no inquiring mind seeking an answer, solution, explanation, or decision.
THE BENEFITS OF TEACHING THROUGH INQUIRY
It seems particularly important that inquiry-oriented teaching may be especially valuable for many underserved and underrepresented populations. In one study, language-minority students were found to acquire scientific ways of thinking, talking, and writing through inquiry-oriented teaching (Rosebery et al., 1990). Inquiry-oriented science teaching was shown to promote development of classification skills and oral communication skills among bilingual third graders (Rodriguez & Bethel, 1983). Active explorations in science have been advocated for teaching deaf students (Chira, 1990). Finally, experiential instructional approaches using ordinary life experiences are considered to be more compatible with native American viewpoints than are text-based approaches (Taylor, 1988).
Caution must be used, however, in interpreting reported findings. There is evidence of interactions among investigative approaches to science teaching and teaching styles (Lock, 1990), and the effects of directed inquiry on student performance may vary by level of cognitive development (Germann, 1989). There seems also a possible conflict of goals when attempting to balance the needs of underachieving gifted students to develop more positive self-concepts with the desire to develop skills of inquiry and problem solving (Wolfe, 1990).
It must also be emphasized that an emphasis on inquiry-oriented teaching does not necessarily preclude the use of textbooks or other instructional materials. The Biological Sciences Curriculum Study materials are examples of those that include an inquiry orientation (Hall & McCurdy, 1990; Sarther, 1991). Other materials accommodating an inquiry approach to teaching have been identified by Haury (1992). Several elementary school textbooks have been compared (Staver & Bay, 1987) and a content analysis scheme for identifying inquiry-friendly textbooks has been described (Tamir, 1985). Duschl (1986) has described how textbooks can be used to support inquiry-oriented science teaching. As mentioned by Hooker (1879, p. ii) many years ago, "No text-book is rightly constructed that does not excite [the] spirit of inquiry."
As instructional technology advances, there will become more options for using a variety of materials to enrich inquiry-oriented teaching. Use of interactive media in inquiry-based learning is being examined (Litchfield & Mattson, 1989), and new materials are being produced and tested (Dawson, 1991). Use of computerized data-bases to facilitate development of inquiry skills has also been studied (Maor, 1991).
REFERENCES
Chira , S. (1990, March-April). Wherein balloons teach the learning process. Perspectives in Education and Deafness, 8(4), 5-7.
Collins, A. (1986, January). A sample dialogue based on a theory of inquiry teaching (Tech. Rep. No. 367). Cambridge, MA: Bolt, Beranek, and Newman, Inc. ED 266 423
Dawson, G. (1991, February 20). Science vision: An inquiry-based videodisc science curriculum. Tallahassee, FL: Florida State University. ED 336 257
DeBoer, G. E. (1991). A history of ideas in science education. New York: Teachers College Press.
Driver, R. (1989). The construction of scientific knowledge in school classrooms. In R. Miller (Ed.). Doing science: Images of science in science education. New York: Falmer Press.
Duschl, R. A. (1986, January). Textbooks and the teaching of fluid inquiry. School Science and Mathematics, 86(1), 27-32.
Germann, P. J. (1989, March). Directed-inquiry approach to learning science process skills: Treatment effects and aptitude-treatment interactions. Journal of Research in Science Teaching, 26(3), 237-50.
Germann, P. J. (1991, April). Developing science process skills through directed inquiry. American Biology Teacher, 53(4), 243-47.
Glasson, G. E. (1989, February). The effects of hands-on and teacher demonstration laboratory methods on science achievement in relation to reasoning ability and prior knowledge. Journal of Research in Science Teaching, 26(2), 121-31.
Hall, D. A., & McCurdy, D. W. (1990, October). Journal of Research in Science Teaching, 27(7), 625-36.
Haury, D. L. (1992). Recommended curriculum guides. In Science curriculum resource handbook. Millwood, NY: Kraus International Publications.
Hodson, D. (1990, March). A critical look at practical work in school science. School Science Review, 71(256), 33-40.
Hooker, W. (1879). Natural history. New York: Harper & Brothers.
Igelsrud, D., & Leonard, W. H. (Eds.). (1988, May). Labs: What research says about biology laboratory instruction. American Biology Teacher, 50(5), 303-06.
Kyle, W. C., Jr., et al. (1985, October). What research says: Science through discovery: students love it. Science and Children, 23(2), 39-41.
Lindberg, D. H. (1990, Winter). What goes 'round comes 'round doing science. Childhood Education, 67(2), 79-81.
Litchfield, B. C., & Mattson, S. A. (1989, Fall). The interactive media science project: An inquiry-based multimedia science curriculum. Journal of Computers in Mathematics and Science Teaching, 9(1), 37-43.
Lloyd, C. V., & Contreras, N. J. (1985, December). The role of experiences in learning science vocabulary. Paper presented at the Annual Meeting of the National Reading Conference, San Diego, CA. ED 281 189
Lloyd, C. V., & Contreras, N. J. (1987, October). What research says: Science inside-out. Science and Children, 25(2), 30-31.
Lock, R. (1990, March). Open-ended, problem-solving investigations: What do we mean and how can we use them? School Science Review, 71(256), 63-72.
Maor, D. (1991, April). Development of student inquiry skills: A constructivist approach in a computerized classroom environment. Paper presented at the Annual Meeting of the National Association for Research in Science Teaching, Lake Geneva, WI. ED 336 261
Mattheis, F. E., & Nakayama, G. (1988, September). Effects of a laboratory-centered inquiry program on laboratory skills, science process skills, and understanding of science knowledge in middle grades students. ED 307 148
Mechling, K. R., & Oliver, D. L. (1983, March). Activities, not textbooks: What research says about science programs. Principal, 62(4), 41-43.
Narode, R., et al. (1987). Teaching thinking skills: Science. Washington, DC: National Education Association. ED 320 755
National Committee on Science Education Standards and Assessment. (1992). National science education standards: A sampler. Washington, DC: National Research Council.
National Science Board. (1991). Science & engineering indicators-1991. Washington, DC: U.S. Government Printing Office. (NSB 91-1)
Novak, A. (1964). Scientific inquiry. Bioscience, 14, 25-28.
Osborne, M., & Freyberg, P. (1985). Learning in science: Implications of children's knowledge. Auckland, New Zealand: Heinemann.
Rakow, S. J. (1986). Teaching science as inquiry. Fastback 246. Bloomington, IN: Phi Delta Kappa Educational Foundation. ED 275 506
Rodriguez, I., & Bethel, L. J. (1983, April). An inquiry approach to science and language teaching. Journal of Research in Science Teaching, 20(4), 291-96.
Rosebery, A. S., et al. (1990, February). Making sense of science in language minority classrooms. Cambridge, MA: Bolt, Baranek, and Newman, Inc. ED 326 059
Rutherford, F. J., & Ahlgren, A. (1990). Science for all Americans. New York: Oxford University Press.
Sarther, C. M. (1991, Winter-Spring). Science curriculum and the BSCS Revisited. Teaching Education, 3(2), 101-08.
Shymansky, J. A., et al. (1990, February). A reassessment of the effects of inquiry-based science curricula of the 60's. Journal of Research in Science Teaching, 27(2), 127-44.
Staver, J. R., & Bay, M. (1987, October). Analysis of the project synthesis goal cluster orientation and inquiry emphasis of elementary science textbooks. Journal of Research in Science Teaching, 24(7), 629-43.
Staver, J. R. (1986, September). The constructivist epistemology of Jean Piaget: Its philosophical roots and relevance to science teaching and learning. Paper presented at the United States-Japan Seminar on Science Education, Honolulu, HI. ED 278 563
Tamir, P. (1985, January-March). Content analysis focusing on inquiry. Journal of Curriculum Studies, 17(1), 87-94.
Taylor, G. (1988, April 1). Hands on science. Paper presented at the Annual Conference of the Council for Exceptional Children, Washington, DC. ED 297 917
Tinnesand, M., & Chan, A. (1987, September). Step 1: Throw out the instructions. Science Teacher, 54(6), 43-45.
U.S. Department of Education, & National Science Foundation. (1992). Statement of Principles (Brochure). Washington, DC: Author.
Wolfe, L. F. (1990). Teaching science to gifted underachievers: A conflict of goals. Canadian Journal of Special Education, 6(1), 88-97.Proceed with Caution when Integrating Multimedia Learning Tools
Rules of Engagement:
Proceed with Caution when Integrating Multimedia Learning Tools
into Existing Course Formats
by
Mary Elizabeth Dawson,Ph.D.
Steven Skinner, Ed.D., and
Arthur Zeitlin, Ed.D.
Department of Biological Sciences
Kingsborough Community College of The City University of New York,
Brooklyn, New York, 11235
Phone: (718)368-5740
E- mail: mdawson@kbcc.cuny.edu
INTRODUCTION
Research indicates that humans have the capability to integrate information from
different sensory modalities into a single meaningful experience- such as the way they
associate the sound of thunder with the visual image of lightning in the sky. They can
also integrate information from verbal and iconic sources into a mental model, such as
viewing a video of a process, while listening to a verbal explanation of that process. It
therefore becomes the challenge of a successful instructor to choose between different
modalities to promote meaningful learning (Moreno & Mayer, 2000).
It has been shown that working memory includes independent auditory and visual
working memories (Baddeley, 1986). Furthermore, humans have separate systems for
representing verbal and non- verbal information (Paivio, 1986). Finally, meaningful
learning occurs when the learner selects relevant information in each memory system,
organizes this information, and makes connections between the information in each
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
system (Mayer, 1997; Moreno & Mayer, 2000). Based on these data, will combining
visual and auditory modalities enhance student learning outcomes? Is an effective
learning experience one which provides a multimedia approach? Do students learn better
when they are presented with traditional laboratory materials in a format which combines
a computer enhanced laboratory exercise for visual input, in addition to the traditional
hands-on human anatomy and physiology laboratory approach?
In an attempt to address these questions, we conducted a study which compared
the learning outcomes of students who had a traditional human anatomy and physiology
laboratory experience with those who had, in addition to the traditional approach, free
and guided access to a comprehensive human anatomy program, known as A.D.A.M.
Briefly, A.D.A.M. is a software tool that utilizes illustrations, x-rays and other images,
coupled with on-screen text. Traditionally, human anatomy and physiology laboratories
are conducted with some combination of hands-on lab experiences, usually a dissection
and the use of slides and models, in conjunction with some lecture component. In the
current study, for one cohort we integrated instruction in and laboratory use of a
multimedia instructional tool, software known as A.D.A.M,
while the other group simply utilized the existing laboratory exercises.
MATERIALS AND METHODS
Students were randomly selected from a double lecture section of the first
semester of a two semester, 4 credit, six hour Human Anatomy and Physiology integrated
course. Briefly, the students had the same lecture experience in terms of dates, time of
lecture and lecture instructor. One half of the class attended lecture on Monday, from
8:00 – 11:20 am, while the other section attended lab for the same time period on
Wednesday.
Students from the Monday lab section (M) and the Wednesday lab section (W)
had the same instructor for both the lecture and the laboratory components of the course.
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
Additionally, labs were conducted in the same format. Basically, the students were
introduced to a topic, and then completed a lab exercise using either a model, a
dissection, a histological sample, or some combination of the three. Lab quizzes and
reports followed the same format for each group. Briefly, laboratory assessments
consisted of a minimum of 20 practical items, either on histological or wet preserved
specimens, as well as 10 short essay type questions.
In addition to the previously mentioned modalities, the Wednesday lab was given
formal instruction in the use of the A.D.A.M. software. Moreover, the instructor
provided a guided exercise each week that employed the software, and the students were
allowed free access to the software during laboratory session. We then compared the
overall performance of each group, as well as their laboratory and lecture grades.
RESULTS
A standard arithmetic mean was calculated for both the Monday and Wednesday
lab sections. Separate means were generated for overall course grade (50% lecture +
50% lab), as well as for the laboratory component, and the lecture component alone.
A two-tailed Student’s t-test was performed to compare the means for each group,
and the results are as follows.
· Lecture averages for the two groups were 80.28 for the group that was using the
ADAM software (W,n=18), and 80.44 for those who were not (M,n=17), were not
significantly different (t(2,33)= 1.67, p>0.01).
· Laboratory averages, 85.35 for the ADAM group (W,n=18), and 92.29 for the
traditional group (M, n=17), were significantly different t(2,33)=3.62, p<0.01).
· Overall course averages for the ADAM group (W, n=18) for the traditional group
(M, n=17), 82.83 and 86.36, respectively, were not significant. t(2,33)= 1.55, p>0.01).
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
TABLE 1.
GROUP
LECTURE
AVERAGE
LABORATORY
AVERAGE
OVERALL
AVERAGE
A.D.A.M. 80.28 85.35* 82.83
Traditional 80.44 92.29* 86.36
* denotes statistically significance
DISCUSSION
We attempted to address the question of whether students would benefit from
multiple modality learning. It was hoped that student outcomes would be enhanced if
multimedia approaches to learning were introduced into a human anatomy and
physiology laboratory course. Much to our surprise, the results were actually the
opposite of what we expected.
The group which did not receive any enhanced instruction performed significantly
better on assessment outcomes. While these data are contrary to the expected results,
there are several logical explanations for these observations. One possibility is that the
format in which the narration for the A.D.A.M. visual information was presented was
inadequate to produce the expected outcome. Briefly, A.D.A.M. uses on-screen text to
describe and define an illustration. It has been suggested that depicting an illustration or
animation with a verbal narration is more effective than providing the same explanation
as on-screen text (Mayer & Moreno, 1998). Described as the split-attention principle, it
appears that students are better able to build referential connections between material
when there is corresponding pictorial and verbal representations, since these two
representations are in working memory at the same time (Mayer & Moreno, 1998). Since
the lab instructor did not provide verbal narration of the A.D.A.M. software, but instead
relied on the program’s inherent on-screen text, the student’s were not utilizing echoic
and iconic working memory simultaneously. Perhaps reworking the course to include a
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
spoken narrative of the A.D.A.M. software might positively influence student outcomes
for the A.D.A.M. cohort.
A simpler explanation would be that introducing a new component to the lab
portion of the course, without changing the existing time period for the lesson, may have
detracted from the time students spent engaging in more traditional laboratory learning
modalities, such as dissection and model manipulation. Furthermore, assessment tools,
such as practicals and quizzes were not altered to reflect the introduction of a new
instructional modality. Therefore, it is highly likely that the existing exam formats were
ineffective at assessing student outcomes when presented with a novel learning modality.
Finally, one possible explanation is that students simply felt overwhelmed with the
addition of the new modality since it required them to learn how to use the new software
while integrating it into their lab studies.
Future experiments need to address these issues. It will be interesting to assess if
students in the software enhanced group will learn better if the corresponding verbal
information is presented auditorially as speech, as opposed to visually as on-screen text
(Mayer & Moreno, 1998). Furthermore, if the students are familiarized with the software
prior to its utilization in a course setting, prior experience may enable students to employ
it more effectively as a way to enhance learning.
In conclusion, the introduction of multimedia tools as a way to enhance student
outcomes can be a valuable educational tool. However, instructors should carefully
assess the modality and its presentation format before fully integrating it into an existing
pedagogical format.
Acknowledgment
This work was made possible by a grant from the A.D.A.M. corporation awarded to
Arthur N. Zeitlin.
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
REFERENCES
Baddeley, A.D. 1986. Working Memory. Oxford, England: Oxford University Press.
Bogelin, J.A., Campbell, K. And Picard, J. 1999. Alternative teaching and learning
strategies: Lessons froman introductory psychology course. Interactive Multimedia
Electronic Journal of Computer-Enhanced Learning, 2(06).
Chandler, P. and Sweller, J. 1992. The split-attention effect as a factor in design of
instruction. British Journal of Educational Psychology, 62, 244-246.
Mayer, R.E. 1997. Multimedia learning: Are we asking the right questions? Educational
Psychologist, 32, 1-19.
Mayer, R.E. and Anderson, R.B. 1992. The instructive animation: Helping students build
connections between words and pictures in multimedia learning. Journal of
Educational Psychology, 84, 444-452.
Mayer, R.E. and Moreno, R. 1998. A split-attnetion effect in multimedia learning:
Evidence for dual processing systems in working memory. Journal of Educational
Psychology, 90, 312-320.
Moreno, R. and Mayer, R.E. 2000. A coherence effect in multimedia learning: The case for
minimizing irrelevant sounds in the design of multimedia instruc tional messages.
Journal of Educational Psychology, 97, 117-125.
Moreno, R. and Mayer, R.E. 1999. Cognitive principles of multimedia learning: The role of
modality and contiguity. Journal of Educational Psychology, 91, 358-368.
Mousavi, S.Y.m Low, R. and Sweller, J. 1995. Reducing cognitive load by mixing auditory
and visual presentation loads. Journal of Educational Psychology, 87, 319-334.
Paivio, A. 1986. Mental Representation: A dual coding approach. Oxford England:
Oxford University Press.
Sweller, J., Chandler, P. 1994. Why some material is difficult to learn. Cognition and
Instruction, 12, 185-233.
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
About the Authors…
Mary Elizabeth Dawson is an Assistant Professor in the Department of Biological
Sciences at Kingsborough Community College of The City University of New York
(CUNY) in Brooklyn, NY.
Steven Skinner is an Associate Professor in the Department of Biological Sciences at
Kingsborough Community College of The City University of New York (CUNY) in
Brooklyn, NY.
Arthur Zeitlin is Professor and Chairperson of the Department of Biological Sciences
at Kingsborough Community College of The City University of New York (CUNY) in
Brooklyn, NY.